Mengarusutamakan Perdamaian Islam-Kristen

- Advertisement -

Mun’im Sirry menelusuri koeksistensi Islam dengan Kristen berdasar fakta sejarah, dimensi teologi, interaksi sosial melalui pluralisme agama, hingga pada persoalan-persoalan kontemporer.

 

KRISTEN dan Islam merupakan agama yang dipeluk mayoritas penduduk dunia. Sebuah data mutakhir menyebutkan, jika dua pemeluk agama itu digabung, mencapai lebih dari 50 persen penghuni mayapada.

Masa depan dunia, jika boleh dikatakan demikian, terutama dalam konteks kehidupan sosial, bergantung pada perilaku penganut dua agama tersebut. Artinya, jika penganut agama Kristen maupun Islam dapat bersinergi dalam menjaga keharmonisan sosial, tidak ada konflik yang berlatar agama, yang terjadi adalah perdamaian dunia. Ini memang hal ideal, meski harus kita akui tak seindah kenyataan.

Buku Koeksistensi Islam-Kristen, karya terbaru Mun’im Sirry, orang Indonesia yang menjadi dosen di University of Notre Dame, Amerika Serikat, menarasikan sisi lain dari persepsi banyak kalangan terkait relasi Kristen dan Islam yang dalam sejarahnya sering diwarnai konflik, bersitegang, hingga tragedi perang. Mun’im, di buku ini, tidak mengeksplorasi sisi gelap ketegangan umat Kristen dengan Islam, namun sebaliknya justru menampilkan sisi humanisme dalam balutan toleransi aktif, yang ia sebut sebagai ”koeksistensi”.

Mun’im menelusuri koeksistensi Islam dengan Kristen berdasar fakta sejarah, dimensi teologi, interaksi sosial melalui pluralisme agama, hingga pada persoalan-persoalan kontemporer. Alhasil, ternyata, sebagaimana ditunjukkan Mun’im, praktik koeksistensi Islam dengan Kristen, dalam banyak pengalaman empiris, telah menjalankan toleransi yang sangat positif, berlangsung ”mesra”.

Toleransi yang dimaksud tentu tidak sekadar saling menghormati dan menghargai perbedaan, tetapi lebih dari itu juga melampaui nilai-nilai yang secara inheren ada pada toleransi itu sendiri. Maknanya lebih dari sekadar toleransi moral atau koeksistensi pasif.

Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementara koeksistensi adalah penerimaan terhadap pihak lain yang berbeda sebagai upaya mencegah konflik. Kaum intelektual sering menyebutnya juga sebagai pluralisme (agama), yang menurut Mohamed Fathi Osman (1996) adalah bentuk kelembagaan di mana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan.

Berdasar fakta sejarah, pertanyaan, mengapa Dinasti Fathimiyah mengangkat banyak wazir (penasihat atau sekelas menteri) nonmuslim? Alasan pragmatisnya, menurut Mun’im, orang-orang Kristen sudah punya pengalaman mengelola pemerintahan sebelum orang-orang Islam datang dan menjadi pejabat birokrasi. Selain itu, Dinasti Fathimiyah yang berasal dari sekte Syiah Isma’iliyah berkuasa sebagai minoritas di tengah penduduk mayoritas Sunni. Situasi itu menyebabkan khulafa Fathimiyah berada dalam dilema.

Jika mengangkat wazir dari kalangan Syiah Isma’iliyah akan memantik reaksi keras dari kalangan mayoritas Sunni. Sementara jika mengangkat wazir dari kalangan Sunni dikhawatirkan justru akan mengambil alih kekuasaan dan khalifah. Dinasti Fathimiyah mempertimbangkan, wazir nonmuslim merupakan ancaman paling minimum (least threat) (halaman 47-48).

Yang membuat buku ini beda dengan buku lain adalah kemampuan Mun’im dalam menulis yang tampak lihai menggunakan bahasa populer dan mudah dicerna, padahal kita tahu tema yang dianalisis sangatlah berat. Meski demikian, terdapat beberapa hal yang, menurut saya, perlu dikoreksi dan refleksi diri.

Pertama, terdapat subbab yang judulnya ”Kristen Melihat Muhammad, Muslim Melihat Yesus” (halaman 178). Judul ini tidak balans. Alasannya sederhana. Bahwa ”Kristen” merupakan nama agama, sedangkan ”Muslim” menunjuk pada pemeluk agama, dalam hal ini Islam. Mestinya, ”Kristen Melihat Muhammad, Islam Melihat Yesus”.

Kedua, kadang, atau bahkan sering, terjadi bias, dan lagi-lagi kurang balans. Misalnya, ketika menulis tentang perjumpaan Islam dengan Kristen dalam bentuk interaksi sosial, pada subbab ”Hubungan Islam-Kristen”, Mun’im cenderung berat sebelah, memberikan porsi yang lebih banyak tentang pengalaman kunjungan Paus Benekdiktus XVI ke tempat atau negara-negara mayoritas muslim dibanding Syekh Ahmad Muhammad Al-Tayyib sebagai pemimpin tertinggi Al-Azhar di Mesir (halaman 131–135).

Sikap Mun’im tersebut sebenarnya bisa dimaklumi dan dimengerti dalam posisinya sebagai outsider untuk memotret pengalaman di luar tradisinya. Mun’im seolah menjadi juru bicara umat Kristen. Dan, ini lumrah sebagai catatan-kritik bagi peneliti atau penulis, yang terlalu larut dalam menjalankan pendekatan fenomenologi. Secara akademik, tidak ada masalah, tetapi secara etis, apalagi buku ini dibaca orang yang belum selesai dengan konsep pluralisme agama, akan dinilai tidak adil.

Di luar itu, tentu apa yang ditulis Mun’im dapat memberikan kontribusi positif terhadap khazanah keilmuan sebagai jalan dialog antara Islam dan Kristen. Dalam banyak hal, Mun’im sejalan dan memiliki obsesi yang sama dengan tokoh-tokoh inklusif-pluralis dunia seperti, untuk sekadar menyebut nama, Karl Rahner.

Karl Rahner merupakan teolog kenamaan yang konon pemikirannya memengaruhi pandangan teologi pasca-Konsili Vatikan II (1962–1965), yang ”merevisi” doktrin eksklusivisme Katolik terhadap umat lain. Rahner tampil sebagai pemuka agama yang mengusung inklusivisme dalam beragama. Bagi Rahner, penganut agama lain di luar Kristen (Katolik) mungkin menemukan Yesus lewat agama mereka sendiri tanpa perlu masuk menjadi penganut Kristen.

Rahner mengatakan, dalam Christianity and the Non-Christianity Religious, agama lain sebenarnya adalah bagian atau bentuk implisit dari agama Kristiani. Keselamatan universal secara ontologis berdasar tindakan kreatif Allah dan secara historis dihadirkan dalam peristiwa Yesus. Rahner tampak menggeser paradigma teologi sempit atau Kristosentris ke dalam sebuah paham inklusivisme yang berujung pada universalitas Allah.

Apakah tafsir dan pemikiran Mun’im ini bisa diterima pandangan kolektif umat Islam? Waktu yang akan menjawabnya. (*)

 

Judul buku: Koeksistensi Islam-Kristen

Penulis: Mun’im Sirry

Penerbit: Suka Press

Tebal: ix + 291 halaman

Cetakan: September, 2022

 

 

*) ALI USMAN, Sarjana teologi dan filsafat UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments