Beberapa literatur menyebutkan, wadai sasirangan atau sari india kerap hadir di meja makan para Sultan Banjar.
Oleh: JAMALUDDIN, Barabai
WADAI lapis ini mudah dijumpai di Pasar Ramadan. Ia mudah dikenali oleh teksturnya yang lembut, rasa manis, dan bentuknya yang meliuk-liuk.
Mengutip beberapa sumber, sari india yang meliuk-liuk itu kerap diibaratkan dengan kain sasirangan yang belum disetrika.
Konon, wadai ini sudah ada sejak abad ke-16 di zaman Kesultanan Banjar. Menjadi satu dari wadai 41 macam yang disuguhkan kepada para raja.
“Satu loyang cukup untuk lima potong. Sepotong dijual dengan harga Rp20 ribu,” kata Mega, pedagang wadai di Pasar Ramadan di Jalan Bakti, Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).
Selama bulan puasa, wadai ini kerap dicari-cari pembeli karena rasa manisnya cocok untuk mengawali berbuka.
Diceritakan Mega, adonan wadai ini terdiri atas gula aren, daun pandan, telur ayam, santan, tepung hunkwe, garam, dan susu kental manis.
Cara membuatnya cukup mudah, campurkan semua adonan. Setelah semua tercampur, adonan disaring.
Lalu panaskan loyang, masukkan satu sendok sayur adonan, kukus kurang lebih selama lima menit. Lakukan berulang hingga adonan habis. Untuk lapisan terakhir, kukus lagi selama 20 menit. Kemudian angkat, diamkan sampai benar-benar dingin agar padat. Setelah itu, keluarkan dari loyang dan potong-potong, ukurannya sesuai selera.
Salah seorang pembeli, Nor Fikriah mengaku sering menikmati sari india untuk berbuka.
Dia membagikan tips cara memakan wadai ini biar lebih nikmat. “Kalau memakan sari india, jangan minum yang manis-manis. Coba pakai teh tawar, rasanya lebih nikmat,” bebernya.