Konten dari halaman ini Yang Dirampas oleh Keluarga dan Masyarakat

Yang Dirampas oleh Keluarga dan Masyarakat

- Advertisement -

Oleh NITA PUSPITA, Alumnus S-1 Bahasa dan Sastra Universitas Airlangga, awardee Beasiswa LPDP magister sastra

Dalam novel ini, Intan Paramaditha membicarakan hasrat kebebasan dan suara-suara yang terlupa, terpinggirkan, yang luput dari perhatian. Pencerita berlompatan dari satu cerita ke cerita lain tanpa jejak menjadi satu kelebihan sekaligus kekurangan dalam karya ini.

MEMBACA karya sastra berarti juga mengalami peristiwa-peristiwa dalam setiap cerita sekaligus merasakan apa yang dirasakan para tokoh dan motif yang mendasari tindakan mereka. Menurut Jacques Lacan, apa yang menggerakkan kehidupan manusia adalah hasrat. Begitu pula dalam sebuah karya sastra: hasrat adalah penggerak utama cerita.

Hasrat dapat termanifestasikan dalam karya melalui para tokoh dan dapat dibaca dari kompleksitas karakter, tindakan, serta perilaku. Seribu Malam Jahanam, novel kedua Intan Paramadhita, mempresentasikan bagaimana para tokoh sentral berusaha untuk

Perjalanan tiga dara, Mutiara, Maya, dan Annisa, dimulai dari ramalan Nenek Victoria tentang ketiga cucunya. Kalian punya jalan masing-masing. Satu cucu pergi melihat dunia. Satu pergi mencari Tuhan. Satunya lagi, melindungi rumah, menjaga semua (hal 42).

Mutiara menjadi penjaga, Maya pengelana, dan Annisa pengantin. Ramalan dari Nenek Victoria menjadi kutukan bagi cucu-cucunya. Ketiga dara lantas ambil peran dalam membebaskan diri masing-masing.

Muti anak mama, mesti kuat meski papa hampir mati dan Annisa berhamburan (hal 82). Mutiara menjaga keluarga, membereskan rumah, bersih-bersih masalah, menjadi perawan tua, dan mengurusi empat anaknya; kucing-kucingnya.

Mutiara mulai bertualang membebaskan diri dari kutukan sebagai penjaga dan bebas dalam memilih jalan hidup. Setelah masalah-masalah meledak dalam dirinya serta pengakuan dosa besar di malam seribu jahanam.

Maya, anak kedua, bukan anak mama ataupun papa. Dia putri lain. Ramalan dari Nenek Victoria; Kau berada di atas perahu, berkelana dengan buku-buku (hal 42). Begitulah kisah Maya. Dia terus mendayung perahunya dari satu negara ke negara lain bersama buku dan tulisannya.

Maya membebaskan diri dengan menemukan rumah. Maya menancapkan kedua kakinya di rumah Mutiara, perahunya bersandar dan menjadi penjaga dari yang tersisa. Maya mengambil alih peran Mutiara.

Annisa, anak ketiga. Bagaimanapun Annisa anak papa. Kesayangan papa (hal 298). Putri cantik nan jelita, penuh cinta, dia menjadi pengantin tercantik dan mendapatkan segala kasih dalam hidupnya. Mendambakan segala sesuatunya utuh, termasuk cinta iman dalam hatinya.

Annisa membebaskan diri dengan membentuk identitas baru menjadi teroris. Dengan melilitkan bom di pinggangnya, meledakkan dirinya sendiri bersama suami dan dua anaknya. Annisa membebaskan dirinya dari dikte papa, mama, dan kakak-kakaknya, bahwa dia bukan lagi sebagai putri penurut, tercantik, pemilik cinta kasih keluarga ataupun pengantin.

Bagi Annisa, cinta sejati hanya milik Allah …. (hal 298), bukan milik keluarga. Annisa menulis takdir untuk dirinya sendiri jauh tak terhingga. Berubah warna dari apa yang digambarkan keluarga atas dirinya dan itulah wujud pembebasan diri dari Annisa.

Namun, ada dara yang terlupa. Dia tumbuh menjadi minoritas, namun tak terbatas. Rosalinda, nama baru Rohadi, anak pembantu di rumah Victoria. Setelah ledakan peristiwa fitnah yang diterimanya dari Annisa dan papanya, Rohadi membebaskan diri, menjadi transpuan dan berkelana ke Jakarta, Jogjakarta, serta Sydney.

Dia berkuliah, menjadi seniman, dan pendongeng. Dialah dara yang terlupa dan menjadi bujang dara yang tak terbatas; menjadi penjaga, pengelana, dan pengantin.

Tulisan-tulisan Intan Paramaditha tak hanya seputar topik feminis, isu-isu sosial politik yang kaitannya dengan tubuh, seksualitas, kekerasan yang dialami oleh perempuan, kisah-kisah Islami, mitos Nusantara, ataupun dongeng-dongeng gelap. Dalam novel ini, dia juga membicarakan hasrat kebebasan dan suara-suara yang terlupa, terpinggirkan, yang luput dari perhatian.

Kisah Rosalinda (Rohadi) sebagai transpuan dan mewakili suara dari kaum minoritas yang sepanjang perjalanan hidupnya yang digilas oleh putaran roda takdir. Segala hal dalam hidupnya dirampas oleh keluarga dan masyarakat hingga sengaja dipinggirkan dari tatanan sosial. Namun, ialah pewaris dunia ketiga, dunia penuh solidaritas merangkul sesama, mendirikan komunitas transpuan dan aktif di kegiatan pengajian. Kami bertahan dan menabuh genderang (hal 267).

Keseluruhan tubuh dalam prosa ini dibangun secara padat dari mitos-mitos yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia, praktik beragama, dan motif yang tersembunyi dari tindakan-tindakan yang agamais. Disampaikan dengan beragam eksplorasi penceritaan, mulai premis-premis cerita, surat-surat, hingga dongeng-dongeng di atas panggung.

Pencerita berlompatan dari satu cerita ke cerita lain tanpa jejak menjadi satu kelebihan sekaligus kekurangan dalam novel ini. Formasi lompatan begitu rumit dan sulit dibaca. Hal tersebut menjadi jebakan untuk para pembaca apakah akan terselamatkan ataukah tersesat dalam permainan akrobat pencerita. Dibutuhkan pembacaan cerdas dan tangkas untuk bisa selamat.

Kemudian, ketiadaan sosok yang sempurna, sosok utuh dalam novel ini, menjadi poin paling unik. Seluruh tokoh dalam novel ini menonjol dengan sisi buruknya dan tampil dengan segala kerumpangan dalam dirinya. Sesuatu telah dirampas, baik oleh keluarga maupun masyarakat. Begitulah dunia bekerja; tidak pernah ada yang utuh sempurna. (*)

Judul: Buku:

Malam: Seribu Jahanam

Penulis: Intan Paramaditha

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan: Pertama, Juni 2023

Tebal: 362 halaman

Ukuran: 13,5 x 20 cm

ISBN: 978-602-06-7144-4

- Advertisement -
Artikel sebelumnya
Artikel Selanjutnya
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments