Konten dari halaman ini Mendidik Diri demi Mendidik Anak, Perlukah Sekolah Ayah-Ibu?

Mendidik Diri demi Mendidik Anak, Perlukah Sekolah Ayah-Ibu?

- Advertisement -
Tidak semua orang –semasa menjadi anak– memiliki contoh yang baik dan sehat dari ayah-ibu mereka. Tidak sedikit orang yang masuk ke dunia pernikahan dan menjadi orang tua justru dengan membawa masalah-masalah atau beban hati yang belum selesai.
MAKA, ketika muncul pertanyaan ”perlukah sekolah menjadi ayah-ibu?”, sebagai seorang perempuan yang telah 38 tahun menjadi ibu dan 40 tahun menjadi istri, dengan tegas saya jawab: perlu.
Sekolah di sini mungkin bukan sekolah resmi laiknya sekolah umum, melainkan semacam kursus persiapan di awal pernikahan atau dalam perjalanan menjadi ayah dan ibu pada fase mana pun. Mengapa? Tidak semua calon ayah dan ibu paham bahwa menjadi orang tua itu butuh siap lahir batin dan kompetensi.

BACA JUGA: Pendidikan Anak Korban Kebakaran Flamboyan Bawah Harus Diperhatikan

Secara wawasan dan sikap diri yang positif. Dan, tidak semua orang rajin membaca tentang bagaimana peran terbaik ayah-ibu. Sebagaimana telah disebut di awal, tidak semua orang memiliki contoh yang baik dari ayah-ibu mereka semasa menjadi anak.
Serta, tak sedikit orang yang melangkah ke dunia pernikahan dengan membawa masalahmasalah yang belum selesai. Ada beban hati yang belum selesai (unfinished business). Tidak semua orang mampu mengelola pikiran dan perasaan mereka sehingga bisa menumpukan hal-hal yang negatif kepada anak.
Seharusnya ayah-ibu adalah guru soft skills pertama bagi anak. Rumah adalah madrasah pertama bagi anak. Ayah-ibu adalah role model terdekat dan termudah bagi anak. Anak melihat, mendengar, dan menirukan sebelum mendapat pengaruh dari lingkungan lain.
Ada anak-anak dari sebuah keluarga, hingga mereka dewasa, selalu tak pernah lupa mengucap terima kasih saat mendapat bantuan sekecil apa pun.
Saat saya berjumpa kedua orang tua mereka, menjadi jelas dari mana mereka mendapat sikap itu. Orang tua mereka sangat memperhatikan tata krama terhadap orang lain. Menurun dari meniru kebiasaan yang terlatih atau dari sifat genetik?.
Gregor Mendel adalah seorang ahli botani dan biarawan asal Austria pada abad ke-19 yang dikenal sebagai peneliti tentang pewarisan sifat melalui pembuktian prinsip dasar genetika. Tentu menarik untuk berpikir, apakah sikap bawaan itu bisa diubah atau dilatih dengan kebiasaan yang terus menerus?.
Misalnya, dengan contoh nyata, diskusi-diskusi efektif, dan konsep reward punishment? Atau mungkin dengan pendekatan ibadah spiritual? Tiap manusia lahir tentu dengan sifat genetik masing-masing, yang menurun dari orang tua.
Soft skills adalah kemampuan-kemampuan yang bisa dikembangkan dan dimaksimalkan dengan kesadaran, dipahami kebaikannya, dilatih terus-menerus, dijadikan kebiasaan, dan akhirnya menjadi keunggulan.
Berlatih menjadi soft skillful adalah upaya. Bagi diri sendiri, yang akan kita tular-wariskan kepada anak-anak. Jika memasuki dunia kerja saja kita disyaratkan dengan kompetensi tertentu, tentu seharusnya demikian pula logikanya untuk memasuki dunia ”menjadi orang tua”.
Dunia family management. Yang memerlukan wawasan sosial, komunikasi, psikologi, budaya, dan spiritual seunggul mungkin. Agar keluarga dan anak-anak kita tumbuh menjadi pribadipribadi bahagia yang sehat mental, moral, dan spiritual. (pri/jawapos.com)
- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments