Konten dari halaman ini Hampir Punah, Banyak Anak Muda Tak Kenal Alat Musik Dayak

Hampir Punah, Banyak Anak Muda Tak Kenal Alat Musik Khas Dayak Ini

- Advertisement -

Kacapi Rabab Dayak kini makin asing di telinga para anak muda dan hampir punah.Bahkan banyak anak muda tak kenal alat musik khas dayak ini. Padahal, alat musik ini sebagai budaya kesenian Dayak Kalteng yang harus dilestarikan. Melalui Film Dokumenter yang disutradari Jovi Oroh, ia berusaha membuat melek Anak Muda mengenali Kacapi Rabab Dayak.

Muhammad Hafidz, Palangkaraya

RATUSAN pengunjung turut meramaikan Studio Bioskop di Palangkaraya, Senin (11/9) malam. Mereka mengantre untuk masuk ke Bioskop untuk menonton Film yang dibuat di Desa Tumbang Lahang, Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).

Film tersebut menceritakan sosok dua pemain alat musik tradisional Kacapi dan Rabab Dayak. Yakni Direl dan Darman. Melalui instrument Dayak Gelombang 3, film tersebut mengajak untuk melihat bagaimana Budaya Dayak bertahan.

Para pengunjung disuguhkan dengan alat musik Kacapi yang dimainkan oleh salah satu seniman musik Kacapi. Dengan menggunakan pakaian adat Dayak, ia memetik alat Kacapi yang membuat takjub para pengunjung.

Film Dokumenter yang ditayangkan berjudul Gelombang 3: Kacapi Rabab Dayak. Film tersebut disutradai dan diproduksi oleh Jovian Caleb Oroh. Atau akrab disapa Jovi Oroh. Film tersebut menampilkan sosok Pemain Kacapi Rabab Dayak yang tinggal di Desa Tumbang Lahang yakni Bapak Toli dan Honda.

Sutradara Gelombang 3: Kacapi Rabab Dayak Jovi Oroh mengungkapkan, film ini dibuat karena alat music Kacapi Rabab Dayak saat ini hampir punah. Bahkan, banyak anak muda yang tak kenal dengan alat music khas Dayak ini.

“Saya pernah buat survei riset kecil-kecilan, saya buat foto lalu ada gambar kacapi sama rabab. Terus saya tanya di bawah ada pertanyaan, ini alat musik apa. Dan ternyata pada saat saya sebarin di toko kopi di Palangkaraya, 90 persen mereka bilang itu sape namanya, kalau rabab ada yang bilang suling macam-macam namanya, tapi Kacapi itu hanya 10 persen menjawab, jadi minim sekali pengetahuan orang Kalteng itu menyebut Kacapi,” ujarnya

Pria berumur 28 tahun menjelaskan, kacapi rabab Dayak hanya ada di Kalteng.Khususnya rumpun Dayak ngaju dan ot danum. Alat musik kacapi rabab Dayak fungsinya untuk ritus pengantar ritual sangiang untuk berkomunikasi dari dunia kita ke dunia “atas”

“Produksi di tempat Tumbang Lahang karena saya berteman dengan Daniel Nuhan Saya sering ke sana dulu dan akhirnya main-main dan saya ketemu pak Toli dan pak Honda itu di ritual sangiang, dan mereka murni pemain kacapi dan rabab ritual sangiang, Dan pak toli dan pak honda ini adalah guru dari Daniel nuhan,” jelasnya.

Proses Syuting ini, ungkap Jovi dimuat pada tahun 2021 dengan modal awal 200.000. Dalam proses syuting, Jovi sempat sakit. Ia menduga  sakitnya saat itu karena “kenalan” sama leluhur di tempat lokasi syuting.

“Tahun 2021 sampai 2022 murni dana sendiri tahun 2022 akhir saya dapat bantuan dana dari Kemendikbud melalui dana indonesiana. Akhirnya saya bisa menyelesaikan film ini tahun 2023. Saya dapat bantuan perseorangan dari dana indonesiana maksimal sampai 250 juta,” ungkapnya.

Dengan adanya film tersebut, ia mengharapkan banyak anak muda bisa mengenal Kacapi Rebab Dayak. Syukur-syukur bisa memainkannya.

“Dan kadang kala orang – orang itu yang memainkan kacapi rabab Dayak itu hanya orang Dayak aja, sebenarnya semua orang bisa untuk memainkan ini,” harapnya.

Dari risetnya selama tiga tahun, cerita Jovi Kacapi Rabab Dayak mengajarkan banyak hal. Bukan hanya sebagai permainan alat musik kesenian. Akan tetap mengajarkan untuk mengenal alam.

“Melalui kacapi rabab Dayak, itu bisa mengenalkan sesama manusia, bahkan melalui kacapi rabab Dayak, bisa mengajarkan kita untuk lebih menghargai para leluhur atau kepada Tuhan,” imbuhnya.

Sementara itu, salah satu produser dan Murid dari pemain Kacapi Rabab Dayak pak Toli dan pak Honda. Mengakui jarang sekali generasi muda yang ingin melanjutkan budaya kesenian yang ada di Desa Tumbang Lahang.

“Karena mungkin beda era, makanya coba kita pantik dengan berbagai macam hal, kalau saya lebih fokus ke musik, saya jalani di musik saya mencoba untuk membuat kacapi rabab dengan sedemikian rupa untuk posisi kembali yang harapanya untuk menarik minat generasi muda zaman sekarang,” katanya.

Salah satu pegiat musik Kacapi Rabab Dayak ini juga menyayangkan dengan jarangnya pegiat Kacapi Rabab Dayak yang melestarikan budaya kesenian Dayak. Bahkan jumlahnya bisa dihitung jari dengan umur berkisar 40 tahun lebih.

“Mohon maaf kata, misal orang tua (pegiat kacapi rabab) ini nanti udah mungkin ‘kembali’, yang melanjutkan nanti akan kesusahan, karena saking sedikitnya, para orang tua aja dan bisa dihitung Iari, kurang lebih 5 orang, memang ada yang lain-lain, namun bukan sebagai ritus, yang berdua (Pak Toli dan Pak Honda,red) ini memang fokus di ritual,” jelasnya.

Meski demikian, Daniel mengaku para anak muda ada beberapa yang potensial untuk meneruskan budaya kesenian Kacapi Rabab Dayak. Rata-rata para anak muda rentang dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga ke Sekolah Menengah Pertama (SMP)

“Dan semoga kedepannya bisa kita rangkul untuk meneruskan,” harapnya.(*/ind)

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments