PENYEDIAAN alat kontrasepsi untuk remaja yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang merupakan turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menuai kontroversi di masyarakat.
Aturan yang dimaksudkan untuk tindakan preventif dan promotif kesehatan reproduksi remaja itu dinilai banyak kalangan lebih banyak menimbulkan dampak negatif dibandingkan dampak positif.
Beberapa pihak menilai aturan tersebut lebih berpotensi menjerumuskan remaja ke dalam kondisi darurat pornografi dan pornoaksi. Hal itu bisa dimaklumi bila kita melihat data National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC), konten kasus pornografi anak Indonesia selama 4 tahun mencapai 5.566.015 kasus. Jumlah itu merupakan yang terbanyak ke-4 di dunia dan ke-2 di region ASEAN.
Otak Remaja
Menurut para ahli neurosains, karakter anak dan remaja sangat dipengaruhi tumbuh kembang otaknya karena di dalam otak terjadi proses neurogenesis dan sinaptogenesis.
Neurogenesis adalah proses bertambah jumlah dan struktur sel otak (neuron) sehingga fungsinya semakin sempurna. Sementara itu, sinaptogenesis adalah proses pembentukan sinaps (jonjot saraf) yang menghubungkan antarsel otak. Semakin banyak dan bagus kualitas sinapsnya, semakin bagus tumbuh kembang otak anak.
Dua proses tersebut sangat dipengaruhi semua stimulus yang masuk ke otak anak dan remaja melalui pancaindranya. Apa saja yang dilihat, didengar, diraba, dan dirasakan si anak sejak dalam kandungan sampai remaja akan menjadi stimulus untuk tumbuh kembang otak dan pembentukan karakternya, termasuk perilaku seksual mereka.
Di sisi lain, warga negara Indonesia dan dunia tidak bisa terlepas dari internet dan gadgetnya. Menurut data Global Overview Report 2023, Indonesia menempati peringkat keenam kecanduan gadget dan menghabiskan 29 persen waktu bangunnya untuk melihat gadget. Hal yang sama terjadi pada anak dan remaja.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2020) menyebutkan, 71,3 persen anak usia sekolah memiliki gadget dan atau memainkan gadget dalam waktu yang cukup lama dalam sehari, dan sebanyak 55 persen di antaranya menghabiskan waktu bermain ponsel, baik online maupun offline.
Yang menyedihkan, banyak sekali anak dan remaja terbiasa mengakses konten pornografi dari media online. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, didapat 66,6 persen anak laki-laki dan 62,3 persen anak perempuan di Indonesia yang menyaksikan kegiatan seksual dari media online. Kondisi itu sangat memprihatinkan karena akan menjadi stimulus utama neurogenesis dan sinaptogenesis mereka.
Konten pornografi yang dilihat anak dan remaja akan menjadi stimulus utama proses neurogenesis dan sinaptogenesis otak bagian perilaku (lobus frontal dan sistem limbik) yang akhirnya terbentuk memori pornografi dan dilanjutkan dengan perilaku seksual yang tidak aman dan berbahaya.
Tidak aman karena dorongan seksual yang sangat besar akibat memori permanen pornografi di usia produktif menjerumuskan mereka ke dalam pergaulan bebas dengan segala akibatnya.
Kondisi itu terbukti dengan banyaknya anak yang menjadi korban kejahatan seksual. Sebuah penelitian menyebutkan, 5,5 juta anak Indonesia menjadi korban pornografi. Senada dengan hal itu, didapatkan banyaknya remaja yang melakukan aborsi. Menurut survei Indopos pada 2023, Indonesia merupakan negara terbanyak melakukan aborsi ilegal dan setidaknya terdapat 1,5 juta remaja Indonesia melakukan aborsi.
Â
Penanganan Kolaboratif
Kondisi seperti itu membutuhkan penanganan bersama, baik pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah hendaknya memberi payung hukum yang komprehensif dan tidak kontraproduktif.
Pasal tentang penjualan kontrasepsi untuk remaja, yang dimaksudkan untuk upaya preventif dan promotif kesehatan reproduksi remaja, justru kontraproduktif karena paparan pornografi di otak dari media online selama ini.
Darurat pornografi remaja harus ditangani secara menyeluruh dan bersifat ke hulu dengan memberi lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang otak dan perilaku seksual mereka.
Termasuk mengatur akses internet anak dan remaja sehingga tidak terpapar konten negatif dari gadget seperti konten pornografi, kekerasan, dan judi online. Bahkan, paparan radikal dapat dibatasi dan itu hanya bisa dilakukan pemerintah dengan peraturan yang ketat.
Orang tua juga harus memikirkan dan memberikan aturan dalam penggunaan gadget untuk anak mereka. Para ahli menyarankan, waktu anak mengakses internet lewat gadget tidak lebih dari 2 jam per hari dan dipastikan untuk mengakses hal yang positif serta perlu pengawasan orang tuanya.
Pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak dan remaja harus mendapat payung hukum. Pendidikan kesehatan reproduksi bisa diterapkan secara baik dan terukur dalam kurikulum, baik sekolah tingkat dasar maupun menengah. Tujuannya, memberikan pemahaman yang utuh tentang organ reproduksi dan fungsinya serta upaya kesehatan reproduksinya. Pemahaman yang utuh akan melindungi anak dan remaja dalam bersikap dan berperilaku mereka di masa depan.
Pendidikan reproduksi berbeda dengan pendidikan seksual. Pendidikan seksual lebih condong ke aktivitas seksual yang erotis dan mengasyikkan. Sedangkan dalam pendidikan reproduksi, lebih banyak pemahaman organ reproduksi manusia sebagai pemberian Tuhan untuk keberlangsungan kehidupan generasi yang akan datang, yang baik, berkualitas, dan berakhlak.
Sebagai penutup, pemerintah sebaiknya mengkaji ulang pasal tentang aturan penjualan alat kontrasepsi di kalangan remaja dan mengganti dengan pasal yang lebih baik serta komprehensif. Salah satu caranya dengan mengajak banyak kalangan di masyarakat untuk pembangunan moral anak bangsa menuju generasi emas Indonesia 2045. (*)
*) BADRUL MUNIR, Dosen-Dokter Neurologi FK Universitas Brawijaya/ RSUD Saiful Anwar Malang