PROKALTENG.CO-Beredar video di media sosial yang memperlihatkan anak-anak usai menjalani cuci darah di RSCM ramai diperbincangkan. Video tersebut seolah-olah mengindikasikan peningkatan jumlah anak yang menjalani cuci darah.
Padahal tidak demikian, kasus anak-anak yang menjalani cuci darah ini tetap sama. Mereka hanya pindah pelayanan khusus rumah sakit yang menyediakan layanan hemodialisa bagi anak-anak.
Sebab layanan hemodialisa untuk anak-anak masih terbatas. Sehingga di RSCM terjadi kenaikan anak-anak yang menjalani hemodialisa.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Bidang (Kabid) Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Jawa Tengah, Elhamangto Zuhdan. Begitu pula di Jawa Tengah. Pelayanan cuci darah khusus anak-anak masih terbatas.
“Kalau di Jateng memang sama dengan di Jakarta, bahwa layanan cuci darah untuk anak-anak sangat terbatas. Yang kami tahu baru ada di Rumah Sakit Kariadi Semarang dan Rumah Sakit Moewardi Surakarta,” jelas Elham kepada Jawa Pos Radar Semarang.
Selama ini kata dia, hemodialisa antara anak-anak dan dewasa masih digabung. Kendati demikian mulai ada perubahan agar anak-anak mendapat pelayanan khusus.
Namun belum rumah sakit memiliki sarana prasarana yang memadai. Sebab hemodialisa untuk anak-anak perlu pelayanan khusus. Seperti dokter nefrologi khusus anak-anak.
“Selain peralatan juga dibutuhkan dokter ahli yang memang khusus. Selain dokter ginjal juga butuh dokter anak, juga dokter khusus di spesialias anak nefrologi,” imbuhnya.
Menurutnya dari banyaknya rumah sakit di Jateng. Baru dua rumah sakit tipe A yakni RS Kariadi dan RS Moewardi yang memadai untuk hemodialisa anak.
“Selain peralatan juga ruang pelayanan yang ramah anak harus dilengkapi,” akunya.
Lebih lanjut Elham menyebut saat ini ada sekitar 11 sampai 13 pasien yang menjalani di Hemodialisa di RS Moewardi.
Sedangkan di RS Kariadi kasusnya secara kumulatif dari Januari hingga Juli 2024 mencapai 438.
“Anak yang menjalani cuci darah di Moewardi tidak terlalu besar, hanya 11 sampai 13 itu pun memang pasien anak-anak yang sesuai indikasi medis, jadi tidak ada peningkatan. Kalau angka kunjungan di Kariadi 438, itu berdasarkan data IDI (Ikatan Dokter Anak Indonesia),” tegasnya.
Elham mengaku ada banyak penyebab anak bisa menjalani hemodialisa. Diantaranya karena sudah ada kelainan sejak lahir, gaya hidup yang tidak sehat seperti banyak minum-minuman kemasan tinggi gula dan jarang minum air putih, serta bisa juga disebabkan karena ada penyakit yang sedang ditangani sehingga merembet pada ginjal seperti autoimun.
“Penyebab kasus gangguan ginjal pada anak biasanya bawaan sejak lahir, ginjal tidak berfungsi maksimal, ada juga penyakit sindrom nefrotik, terkait gaya hidup dan lain-lain sangat sedikit, itu hanya faktor resiko bukan penyebab,” bebernya.
Kendati demikian, pihaknya pun tetap mengimbau kepada masyarakat terutama orang tua agar tetap menjaga pola hidup anak-anak. Sehingga bisa dilakukan pencegahan sejak dini.
“Orang tua biasakan memberikan contoh melakukan gaya hidup sehat. Artinya makan-makanan dengan gizi seimbang, memberikan edukasi pada anak bahwa minum-minuman manis di kemasan, makanan berkemasan yang berkelanjutan itu merupakan gaya hidup tidak sehat,” tambahnya.
Kasus Cuci Darah di Jateng Ada 10 Anak Rutin Cuci Darah
Kasus gagal ginjal anak bekalangan semakin mencuat. Hal ini tidak terlepas dari semakin banyaknya anak-anak yang harus rutin cuci darah.
Di RSUP dr Kariadi Semarang misalnya, dari sumber yang ada, setidaknya 10 pasien rutin cuci darah.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Semarang, M. Abdul Hakam mengakui jika ada kasus gagal ginjal pada anak yang menyebabkan mereka harus rutin melakukan cuci darah di rumah sakit (RS). “Memang ada, tapi jumlahnya saya tidak hafal,” katanya.
Hakam menjelaskan, anak-anak yang harus mendapatkan perawatan cuci darah ini dikarenakan penyakit autoimun.
Dirinya sempat bertanya ke RSUP dr Kariadi terkait jumlah pasien yang harus mendapatkan perawatan cuci darah. “Jumlahnya nggak banyak kok, nggak lebih dari 10 anak,” ujarnya.
Menurut dia, semua rumah sakit yang memiliki layanan hemodialisa bisa melakukan cuci darah. Namun dirinya tidak mengetahui secara akumulasi. “Tapi kita jumlahnya berapa belum diakumulasi,” tambahnya.
Untuk penyebab penyakit ini, dari informasi yang ada salah satunya karena gaya hidup. Namun, penyakit ini terjadi biasanya karena ada kerusakan pada ginjal. “Bahasanya ginjalnya bocor, ini terkait penyakit autoimun,” jelasnya.
Jika tidak ditangani, dengan cuci darah, lanjut Hakam bisa merusak ginjal, sehingga harus dilakukan penanganan sejak dini.
“Kalau tidak ditangani dini bisa merusak, memang harus diterapi hemodialisa,” pungkasnya. (kap/den/fth)