Suara Perlawanan dari Kotak Kosong

- Advertisement -

PEMILIHAN Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2024 memberi rakyat kesempatan untuk memilih pemimpin. Namun, fenomena kotak kosong yang muncul dalam pilkada di Indonesia telah menjadi perbincangan hangat, terutama di media digital.

Fenomena ini muncul ketika hanya ada satu pasangan calon yang bisa maju dalam sebuah pilkada. Pemilih dihadapkan pada dua opsi: memilih calon tunggal atau memilih kotak kosong.

Meningkatnya diskusi tentang kotak kosong secara signifikan sejak awal Agustus 2024 di berbagai platform media digital (media sosial dan non-media sosial) menunjukkan bahwa isu ini penting dan mendapat perhatian serius dari masyarakat.

Selama periode 1–10 Agustus 2024, tercatat 3.542 sebutan terkait dengan kotak kosong. Dari jumlah tersebut, 52,12 persen berasal dari media sosial. Sementara, 47,88 persen berasal dari non-media sosial seperti berita.

Pada 1 Agustus, teridentifikasi 70 sebutan yang kemudian meningkat menjadi 250 sebutan pada 4 Agustus. Lonjakan signifikan terjadi pada 7 Agustus dengan 601 sebutan dan mencapai puncaknya pada 8 Agustus dengan 856 sebutan.

Terjadi sedikit penurunan pada 9 Agustus menjadi 766 sebutan dan kembali menurun drastis menjadi 201 sebutan pada 10 Agustus 2024.

Sentimen Negatif

Analisis komunikasi big data mengungkapkan, sebagian besar sentimen terhadap fenomena ini negatif. Melengkapi analisis sentimen, dilakukan analisis emosi melalui pemrosesan bahasa alami (natural language processing). Emosi yang paling dominan adalah jijik (disgust) dengan persentase mencapai 83,7 persen.

Dominasi emosi jijik ini mencerminkan ketidakpuasan di kalangan netizen bahwa fenomena kotak kosong mencerminkan kegagalan sistem demokrasi dalam menyediakan pilihan yang bermakna bagi pemilih.

Emosi kekaguman (admiration) yang menempati urutan kedua dengan persentase 6,1 persen menunjukkan adanya dukungan terhadap alternatif yang muncul. Misalnya, calon independen atau gerakan yang menolak dominasi politik tertentu. Emosi kesedihan (sadness) dan ketakutan (fear) masing-masing sebesar 3,5 persen menunjukkan keprihatinan dan kekhawatiran masyarakat terhadap dampak jangka panjang dari fenomena ini.

Sementara itu, emosi kegembiraan (joy) hanya mencapai 3 persen pada sedikit optimisme yang melihat kotak kosong sebagai peluang untuk perubahan. Uniknya, emosi kemarahan (anger) yang hanya mencakup 0,2 persen menunjukkan bahwa ekspresi kemarahan langsung tidak terlalu dominan meski ada ketidakpuasan.

Penggunaan emoji dalam diskusi ”kotak kosong” memberikan wawasan lebih lanjut tentang ekspresi publik. Emoji tertawa terbahak-bahak paling sering digunakan untuk menunjukkan adanya unsur humor atau sarkasme dalam menanggapi fenomena ini.

Ini dapat diartikan sebagai bentuk kritik atau sindiran terhadap situasi politik yang melahirkan kotak kosong dalam pemilihan. Emoji jempol ke bawah mencerminkan ketidaksetujuan yang kuat terhadap kotak kosong.

Emoji wajah tersenyum dengan mata berbentuk hati serta tanda centang mengindikasikan dukungan terhadap aspek-aspek tertentu dari fenomena ini seperti dukungan terhadap calon independen.

Penggunaan emoji ini memperlihatkan publik mengekspresikan perasaan mereka dengan cara yang lebih informal dan mudah dipahami. Menciptakan semacam ”bahasa visual” yang menggambarkan respons mereka terhadap ”kotak kosong”.

Penurunan intensitas pembicaraan mengenai kotak kosong di media digital tidak serta-merta menunjukkan bahwa diskusi dan kontestasi terkait dengan fenomena ini telah berakhir.

Penurunan ini bisa jadi hanya mencerminkan jeda sementara dalam perbincangan publik yang sewaktu-waktu bisa kembali memuncak. Terutama jika dipicu peristiwa politik tertentu atau kondisi sosial yang menggerakkan kembali keresahan publik.

Pilih Kotak Kosong Adalah Perlawanan

Kotak kosong dalam pilkada dapat dipahami sebagai manifestasi dari discourse kekuasaan dan resistansi yang beroperasi di masyarakat. Media sosial menjadi medan di mana kekuasaan politik dan resistansi terhadapnya saling berhadapan, membentuk narasi publik.

Discourse yang berkembang di media sosial tidak hanya merefleksikan realitas politik, tetapi juga memengaruhi cara masyarakat memahami dan bereaksi terhadap kotak kosong.

Dalam konteks ini, kotak kosong dapat dilihat sebagai simbol perlawanan terhadap sistem politik yang dianggap tidak adil. Pilihan kotak kosong menjadi cara bagi pemilih untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap kekuasaan yang ada, mengganggu narasi dominan yang mendukung status quo politik.

Melalui perspektif Foucault, media sosial berfungsi sebagai alat bagi individu dan kelompok untuk mengekspresikan perlawanan mereka terhadap struktur kekuasaan yang mapan. Biopower dan governmentality yang diterapkan pemerintah mencoba mengatur cara pemilih berpikir dan bertindak, tetapi resistansi muncul melalui dukungan terhadap kotak kosong.

Resistansi ini menunjukkan penolakan terhadap cara pemerintah mencoba mengendalikan pilihan politik rakyat. Dengan demikian, kotak kosong menjadi bagian dari perjuangan yang lebih besar antara kekuasaan dan resistansi dalam masyarakat.

Dalam konteks Pilkada 2024, penting untuk memahami bahwa kompetitor adalah stakeholder yang esensial dalam menjaga kesehatan demokrasi. Kompetisi politik yang sehat tidak hanya menawarkan pilihan yang beragam bagi masyarakat, tetapi juga mendorong kandidat untuk berinovasi dan merespons kebutuhan rakyat dengan lebih baik. Tanpa kompetisi yang memadai, seperti yang terlihat dalam fenomena kotak kosong, demokrasi dapat kehilangan esensinya karena pemilih tidak lagi memiliki alternatif yang berarti. (*)

*) IRWAN DWI ARIANTO, Dosen komunikasi digital dan kajian media sosial Program Studi Ilmu Komunikasi UPN ”Veteran” Jawa Timur

- Advertisement -
RELATED ARTICLES
- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments