ILUSTRASI. (BUDIONO/JAWA POS)
Sajak Ambigu
Ambigu
aku melihat merah-putih penuh air mata
dan itu karena kemurungannya tidak lagi terbendung
apakah puisi harus berkemas diri
dari pergulatan hidup, yang tidak pernah tuntas
selalu saja kegelisahan dan kesedihan
melekat erat di urat nadi tradisi
entah, apakah merah-putih itu hanya simbol dari peradaban
sebab nyatanya penguasa kian bangga dengan busana kolonial
2024
—
Apologi Tirani
bangku-bangku telah lebam
lebih usang dari masa purba
dan tanah-tanah ini membiarkannya tetap tumbuh
entah, apakah karena mata ini tak mampu lagi membaca
atau puisi memang terlalu penat untuk dibacakan
selain bercengkerama dengan para pendusta
yang menganggap tanah-tanah leluhur ini miliknya sendiri
esok, akan ’kupinjam catatan Chairil Anwar
dan sempurnakan ’’binatang jalang” yang belum tuntas
dan ’kunyanyikan dalam senandung apologi tirani
2024
—
Pro Bono Publico
kita kecil bukan karena menjadi rakyat
kita besar bukan karena menjadi raja
karena kita semua adalah sederet huruf
yang membuat kata-kata bermakna
apakah huruf itu sudah adil bagi huruf yang lain
hanya puisi, tempat yang memberikan cinta bagi kata-kata itu
dan hari ini, tanah-tanah menjadi kejenakaan dari kerumitan kata-kata
hanya seorang raja dari negeri antah-berantah yang mampu menyatukannya
meski makna hukum harus bertelanjang diri
puisi menjadi skeptis, sebab takut dengan intimidasi
yang penting bisa memuluskan jalan-jalan berkarpet merah
dan mewujudkan impian permaisuri
sebab puisi memang semesta cinta yang sederhana
untuk menulis pesan: demi kepentingan umum
—- pro bono publico
di tanah-tanah yang telah kehilangan wajah!