Rencana pemberian penghargaan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2019–2024 menuai kritik dan sinisme masyarakat. Bagaimana tidak, penghargaan tersebut justru diberikan kepada diri sendiri.
Rencana itu mencuat setelah DPR resmi mengesahkan aturan pemberian tanda penghargaan dan piagam kepada seluruh anggota pada akhir masa jabatan mereka. Hal tersebut disepakati lewat rapat paripurna di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis (19 September 2024).
Bagi publik, rencana itu terang saja menyerang logika mandat rakyat dalam prinsip kontrak politik. Rakyat selaku pemberi mandat pada pemilu awalnya menaruh kepercayaan kepada wakil mereka untuk duduk di kursi DPR guna memperjuangkan suara dan kepentingan rakyat. Dalam proses menjalankan madat tersebut, rakyat memiliki obligasi moral-politik untuk mengontrol serta mengevaluasi kinerja wakil-wakil itu.
Catatan Minor
Dari evaluasi tersebut akan diketahui apakah anggota DPR sudah amanah menjadi penyuara kepentingan rakyat atau malah sebaliknya. Karena itu, sejatinya yang lebih layak memberikan pengakuan atas kinerja anggota DPR adalah rakyat itu sendiri.
Harus diakui, selama ini DPR mendapat banyak catatan minor. Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada awal Maret 2023 menempatkan partai politik dan DPR/DPRD sebagai lembaga terendah yang dipercaya masyarakat (bertengger di urutan ke-14). Lebih buruk daripada partai politik di urutan ke-13. Rendahnya trust (kepercayaan) masyarakat terhadap DPR tentu bisa dilihat dari performa mereka dalam menjalankan tiga fungsi.
Dalam fungsi legislasi, misalnya. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengungkap, DPR periode ini baru menyelesaikan 27 rancangan undang-undang (RUU) dari total 259 RUU yang ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019–2024. DPR hanya bisa menyelesaikan 5 UU dari 37 RUU yang masuk RUU prioritas.
Artinya, ada 32 RUU yang tak diselesaikan hingga 2024. DPR juga hanya mengesahkan satu RUU prioritas, yaitu RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal, pada masa Sidang I Tahun 2023–2024, DPR masih bisa mengesahkan dua RUU prioritas.
Hal tersebut, antara lain, dipicu terpecahnya fokus DPR menjelang musim Pemilu 2024 lalu. Pada pemilu lalu, misalnya, dari 575 anggota DPR, ada 521 orang yang kembali mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg). Konsekuensinya, para anggota DPR lebih sering wira-wiri berkampanye ketimbang hadir dalam sidang-sidang yang membahas persoalan rakyat.
DPR juga kepayahan dalam pengawasan terhadap kekuasaan. Tak ada suara kritis yang ”menggigit” berbagai kebijakan pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin selama ini.
Belakangan, seiring dengan berambisinya koalisi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk merangkul lawan-lawan politiknya, birokrasi bakal makin ”bengkak”. Sebab, banyak partai politik yang dulu berada di barisan oposisi kini berubah menjadi pendukung kekuasaan.
Nyaris tidak ada lagi oposisi yang mengingatkan pemerintah. Halaman gedung DPR pun lebih banyak diisi barisan protes serta suara kemarahan rakyat terhadap kebijakan atau undang-undang yang tidak memihak mereka.
Dalam hal penganggaran, menyitir Formappi, DPR pun tidak serius membahas serapan anggaran. Terbukti, misalnya, pada Masa Sidang II Tahun 2023–2024, hanya sekali DPR mengevaluasi serapan APBN 2023 dan hanya lima komisi yang mengevaluasi serapan APBN 2023 bersama mitra kerja mereka.
Membancak Diri
Kinerja DPR sejauh ini masih diidentikkan dengan pemborosan dan penyalahgunaan anggaran. Contoh, sinyalemen bancakan dalam proyek rumah dinas DPR senilai Rp 39,7 miliar. Menurut penyidik KPK, ada dugaan penggelembungan (markup) harga di balik proyek tersebut (Seknas Fitra, 24/3/2024).
Sejumlah perlengkapan rumah jabatan, mulai ruang tamu hingga kamar tidur, diduga dipatok dengan harga lebih tinggi daripada harga di pasaran. Ironisnya, praktik bancakan tersebut juga melibatkan para politikus di parlemen. Mereka seolah membancak rumah mereka sendiri.
Fenomena itu semestinya sudah cukup bagi rakyat untuk mengganjar anggota DPR dengan nilai merah.
Kengototan DPR untuk memberikan penghargaan terhadap diri sendiri juga kian memperlihatkan betapa kuatnya kebutuhan mereka akan status sosial, kekuasaan, dan rasa memiliki –yang disebut narsisme politik (Zeigler-Hill & Dehaghi, 2023).
Mereka benar-benar terlihat tak berdaya di hadapan prestise jabatan dan kekuasaan yang telanjur memabukkan
dan membuat mereka ”gila hormat”. Mereka tidak lagi menggubris perlunya rasa malu atau etika, moralitas, dan kepekaan terhadap persoalan rakyat. Yang ada di pikiran mereka hanyalah hasrat berkuasa dengan segala ke-narsis-annya demi kepentingan sendiri.
Ironisnya, di tengah asyiknya para wakil rakyat memburu kehormatan, pada saat yang sama, rakyat justru sedang terhina oleh berbagai kebijakan yang tidak adil dan makin menyengsarakan. Sungguh miris. (*)
*) UMBU T.W. PARIANGU, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang