Oleh: Siti Napsiyah Ariefuzzaman
20 SEPTEMBER 2024, warga Indonesia dan Selandia Baru akhirnya bersyukur dan lega atas berhasil dibebaskannya Pilot Susi Air Philip Mehrtens dari sandera Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua.
Kelompok ini telah menyandera sang pilot sejak 7 Februari 2023 silam. Kelompok KKB atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang menyandera Kapten Phillip ini dipimpin oleh Egianus Kogoya.
Pembebasan kapten Phillip menjadi peristiwa yang melegakan bagi Pemerintah Indonesia, warga masyarakat, dan terkhusus bagi keluarga besar sang pilot. Penyanderaan dalam kurun waktu 1 tahun enam bulan (hampir dua tahun) kita tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh penyandera (KKB Papua) kepada pihak yang disandera (Kapten Philip).
Dalam hal penyanderaan, semua setuju ini adalah salah satu bagian dari bentuk terorisme. Apalagi ini melibatkan aktivitas pekerjaan warga sipil yang tidak ada kaitannya dengan politik.
Menurut Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT) penyanderaan yang dialami Kapten Phillip telah memenuhi unsur tindak pidana terorisme. Unsur-unsur tersebut meliputi adanya motif politik, ideologi, dan gangguan keamanan. Bahkan juga menciptakan rasa ketakutan di tengah masyarakat.
Apalagi dari adanya banyak laporan media bahwa kelompok ini telah melakukan kekerasan dan penindasan, terkhusus kepada kelompok penjaga keamaan negara, Tentara Nasional Indonesia (TNI). Aksi mereka menciptakan teror dan horor di tengah masyarakat. Masalah politik, disinyalir sebagai latar belakang kelompok bersenjata. Meskipun itu mengatasnamakan warga Papua. Padahal ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Biar jelas, mari kita bahas apa itu penyanderaan. Adalah istilah umum dan merujuk pada penahanan seseorang, di luar keinginannya dan tanpa wewenang hukum, untuk motif tertentu.
Jadi, Kapten Phillips dapat disebut sebagai sandera. Yaitu seseorang yang ditawan seseorang hingga keinginannya dituruti. Penyekapan dan penyanderaan yang dilakukan oleh KKB Papua ini memiliki ciri bahwa ia merupakan kelompok yang sangat terlatih dan terorganisir dengan baik.
Tentu, mereka memiliki alasan dan perhitungan serta mengantisipasi kemungkinan apa yang terjadi jika menyandera seorang pilot warga negara asing. Kita bisa menebak, diantaranya adalah mereka berharap seiring dengan disanderanya kapten Philip, maka pesan untuk memisahkan diri dari negara Indonesia dapat dipahami, didengar, dan dikabulkan oleh pemerintah Indonesia, dan dunia pada umumnya.
Menurut Sunardi (2017) kejahatan penyanderaan adalah bentuk-bentuk aktivitas umum lainnya dari teroris. Teroris menculik, mengancam, membunuh, atau melukai warga yang tidak berdosa untuk menekan pihak ketiga, dalam hal ini negara, organisasi pemerintah, organisasi internasional, seseorang, atau kelompok orang. Tujuannya untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan sebagai suatu syarat eksplisit atau implisit untuk pembebasan sandera.
Selain itu, menurut Pape RA. (2004, dalam Alexander & Klein, 2009) Penyanderaan warga negara asing telah menjadi modus operandi yang sangat popular bagi teroris (yang cenderung terorganisasi dengan baik dan selektif dalam memilih “sandera” mereka).
Stop Terorisme
Terorisme apa pun bentuknya harus diakhiri di bumi Indonesia tercinta. Sebagain masyarakat bisa jadi menganggap aksi terorisme hanya sebatas atau identik dengan pengeboman.
Padahal jelas, penyanderaan terhadap seseorang yang sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan pemerintahan, dari warga sipil. Kita tidak bisa membayangkan jika kasus Kapten Philip menimpa kita, atau anggota keluarga kita.
Lamanya waktu penyanderaan, yaitu hampir dua tahun, pasti sangat menyiksa bagi sang pilot. Dampak penyanderaan ini jangan sampe menjadi jera dan ketakutan tersendiri bagi siapapun warga sipil, baik dari bangsa Indonesia sendiri maupun bagi calon pekerja komersial dari negara lain.
Berdasarkan uraian itu jelas bahwa cara-cara yang dilakukan oleh KKB Papua diidentik dengan aksi terorisme. Jaringan teroris yang beraksi di Indonesia saat ini menggunakan stategi menebar rasa takut sebagai cara untuk mencapai tujuannya. Selain itu, terdapat motif politik dan idiologi yang memenuhi unsur pidana dalam pengertian tindak pidana terorisme dalam Undang-Undang No.5 Tahun 2018.
Oleh karena itu, penanganan aksi terorisme memerlukan upaya yang sistematis, terukur, dan terkoordinasi agar masalah tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Hal ini karena, terorisme bukanlah bentuk kekerasan paling mematikan di dunia. Namun, terorisme menimbulkan dampak emosional dan psikologis yang jauh lebih besar.
Global Terrorism Index (GTI, 2024) melaporkan bahwa terorisme membunuh lebih sedikit orang daripada bentuk kekerasan lainnya. Konflik bersenjata membunuh sembilan kali lebih banyak orang daripada terorisme, dan membunuh lebih dari 45 kali lebih banyak orang.
Terorisme bersifat unik, karena peristiwanya tidak dapat diprediksi. Unik karena juga jumlah korban yang tinggi menyebabkan dampak emosional dan psikologis yang signifikan yang gilirannya dapat menyebabkan dampak sosial dan geopolitik yang signifikan (Institute for Economics & Peace, 2024).
Dalam pasal 6 Undang-Undang No. 31 tahun 2014 tentang perubahan UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 6 UU tersebut menyebutkan bahwa “Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual dan korban penganiayaan berat berhak mendapat bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
Hal ini karena, korban penyanderaan akan mengalami reaksi psikis dan sosial yang cukup serius. Seperti menurunnya daya ingat dan konsentrasi, disorientasi dan kebingungan, ketakutan mendalam terhadap kejadian serupa, kemarahan, depresi, mudah tersinggung, cepat sedih, melamun, dan gejala psikologis emosional lainnya.
Jadi, Pemerintah Indonesia harus mampu menjadikan pembebasan Kapten Phillip dari aksi penyanderaan yang termasuk sebagai aksi kejahatan terorisme sebagai momentum untuk mengakhiri segala bentuk terorisme di Indonesia.
Pemerintah Indonesia harus dibantu oleh aparat terkait, masyarakat setempat dan semua unsur warga bangsa untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang aman. (*)
*) Siti Napsiyah Ariefuzzaman, Dosen Prodi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta