Oleh: Martin Siyaranamual
KARAKTERISTIK utama pasar ketenagakerjaan Indonesia adalah tingginya angka pekerja informal. Pada Februari 2024, persentase pekerja mencapai 59,2% (BPS, 2024).
Tingkat informalitas yang tinggi ini menciptakan tantangan dalam hal inklusi keuangan dan akses terhadap layanan penting seperti pembiayaan perumahan.
Terbukti bahwa di tahun 2019, hanya 24,4% pekerja informal yang memanfaatkan produk KPR dalam pembelian rumahnya (BPS, 2019), sedangkan sisanya menggunakan angsuran non-KPR atau membayar tunai.
Pada tahun 2022 terjadi penurunan persentase pekerja informal yang memanfaatkan produk KPR, menjadi hanya 23% (BPS, 2022).
Laporan Bank Dunia yang berjudul Housing Finance Policy in Emerging Markets mengidentifikasi lima tantangan dalam memperluas akses pembiayaan perumahan di negara berkembang, yaitu: suku bunga KPR yang mahal, ketiadaan riwayat kredit formal, keterbatasan keanekaragaman produk keuangan, lemahnya kerangka regulasi, dan ketidakstabilan makroekonomi.
Dari kelima tantangan tersebut, ketiadaan riwayat kredit formal dan keterbatasan keanekaragaman produk keuangan adalah tantangan yang berkaitan dengan pekerja informal.
Ketiadaan riwayat kredit formal terjadi karena pekerja informal tidak memiliki slip gaji, laporan pajak, atau dokumen resmi lainnya yang merupakan persyaratan utama untuk mendapatkan pembiayaan perumahan dari lembaga keuangan.
Untuk mengatasi hambatan ini, lembaga keuangan perlu mekanisme penilaian kredit alternatif bagi pekerja informal, seperti menggunakan verifikasi pendapatan informal, riwayat transaksi, atau sistem kredit sosial.
Keuangan digital telah mulai menangani masalah ini dengan memanfaatkan riwayat pembayaran melalui ponsel, namun sistem ini masih berada pada tahap awal penerapan dan masih memiliki banyak tantangan.
Berkaitan dengan keterbatasan keanekaragaman produk keuangan, produk pembiayaan perumahan yang tersedia saat ini, sering kali tidak sesuai dengan realitas pendapatan pekerja informal yang tidak teratur dan sulit diprediksi.
Produk pembiayaan perumahan yang tersedia luas hanya produk KPR yang bertujuan untuk melayani pekerja dengan gaji tetap dan stabil, dan tidak menyediakan fleksibilitas keuangan yang dibutuhkan pekerja informal.
Supaya pekerja informal dapat memanfaatkan produk pembiayaan perumahan, maka dibutuhkan produk pembayaran dengan jadwal pembayaran yang lebih fleksibel, serta kemungkinan menggunakan skema tabungan dan pinjaman berbasis komunitas. Selain itu, dimungkinkan kepemilikan rumah dengan menggunakan skema rent-to-own (RTO).
Skema RTO adalah skema alternatif kepemilikan rumah, di mana nasabah RTO akan membayarkan biaya sewa rumah selama periode tertentu dan di akhir periode kepemilikan, rumah akan beralih kepada nasabah.
Skema ini cocok bagi pekerja informal karena memberikan waktu untuk menabung sambil tinggal di rumah yang ingin dibelinya. Selama proses menabung tersebut, lembaga keuangan dapat melakukan proses verifikasi kemampuan mencicil pekerja tersebut.
Memperluas akses pembiayaan perumahan bagi pekerja informal, diperlukan solusi yang inovatif dan inklusif. Memperkenalkan produk keuangan yang fleksibel, seperti mikro kredit perumahan dan skema rent-to-own, bukan hanya memberikan kesempatan kepemilikan rumah bagi mereka yang selama ini belum terlayani dengan baik, tetapi juga menjadi langkah nyata dalam mendorong inklusi keuangan dan pemenuhan mandat UUD 1945 Pasal 28h Ayat 1, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
*) Martin Siyaranamual, Head of SMF Research Institute