Upaya Mengenangmu
Aku teringat lagu tidur yang kau nyanyikan
di tepi ranjangku
Suaramu seperti mantra yang memanggil
burung-burung bangau pulang dari migrasinya
Tanah sawah jadi basah
Katak bersahutan
Kunang-kunang tak nampak dalam terang
neon kamarku
Sambil menghitung dalam dada
Aku menduga-duga pada hitungan berapa
aku akan terlelap
Tapi lagumu membuat hitunganku semakin panjang
Suaramu adalah lengking paling indah
Kisah sedih yang terhapus dalam cerita
Renungan panjang para pertapa
Dan tangisan lembut seorang pendosa
Aku ingin mendengar lagi lagu tidur
yang kau nyanyikan di tepi ranjangku
Aku ingin mengucapkan namamu;
Kata paling indah yang pernah keluar dari mulutku
Aku ingin meminjam suaramu untuk kudengarkan
sambil memandang foto lama kita
Aku ingin kau memelukku sekali lagi
Pelukan yang begitu lembut dan mesra
Pelukan yang lebih indah dari puisi cinta
Pelukan yang begitu tipis
Hingga tak terasa aku telah memanggulnya ke mana-mana
2024
—
Toko Buku Tua
Di sesak Jalan Kemasan
di antara macet proyek galian dan papan
yang memberikan kecemasan; Awas ada lubang!
sepasang daun pintu terbuka
seperti Yesus yang mengulurkan tangan kepada si papa
seperti tangan buku-buku yang memelukmu
dalam pepohonan pengetahuan.
Dinding-dinding kayu,
matahari membias di jendela kaca
foto Sidartha dan Bunda Theresa dalam senyumnya yang
tak teraba.
Diri masuk dalam sepi sampul buku yang terkelupas
udara lembap dan angin Kotagede.
Di antara huruf-huruf yang berulang telah dituliskan
pepohonan ditebang jadi kertas
halaman kosong telah terisi
Bangku, meja, karpet dan rak terbuka
jejak tanganmu liar tak terduga.
Sebuah tangga dibangun bagi diri
yang memasuki alam liar masa depan.
Pelukan Masa Kecil
Aku amati rambutmu yang memutih
Tangan lembutmu berkerut seperti jari terendam asam
Telah lama aku tak memandang matamu
yang dulu bulat dan garang
Aku titipkan kasih sayangku lewat udara
yang tak pernah kau rasakan
Pada uap cangkir gelas jahemu yang begitu
sebentar membasahi cawan
Aku mengingat pelukan masa kecil itu
Pada jalanan menuju sekolah pertamaku
Rambutmu berantakan tersibak angin tanah lapang
Aku pikir masa depan begitu lurus seperti jalanan
yang kita lalui
Tapi tak ada satu pun peta yang dapat menunjukkan
di mana tempatnya
Kamu julurkan lenganmu
Kaki kecilku menyeberangi harapan
Bersama kentang rebus dalam kotak makanan
Kamu menitipkan semua yang terlintas dalam angan
Betapa jauhnya berpisah
Meski rumah kita hanya dibatasi pohon mangga
yang kita tanam
Suara nyanyian pengiring tidurku kian pudar
Cinta kita bagai redup neon dalam kelap-kelip karnaval
—
MUTIA SUKMA, lahir 1988. Kini aktivitasnya mengajar, menulis, dan meneliti. Harum Serbuk Tembok adalah buku puisinya yang segera terbit.