Sajak Upaya Mengenangmu

- Advertisement -

Upaya Mengenangmu

Aku teringat lagu tidur yang kau nyanyikan

di tepi ranjangku

Suaramu seperti mantra yang memanggil

burung-burung bangau pulang dari migrasinya

Tanah sawah jadi basah

Katak bersahutan

Kunang-kunang tak nampak dalam terang

neon kamarku

Sambil menghitung dalam dada

Aku menduga-duga pada hitungan berapa

aku akan terlelap

Tapi lagumu membuat hitunganku semakin panjang

Suaramu adalah lengking paling indah

Kisah sedih yang terhapus dalam cerita

Renungan panjang para pertapa

Dan tangisan lembut seorang pendosa

Aku ingin mendengar lagi lagu tidur

yang kau nyanyikan di tepi ranjangku

Aku ingin mengucapkan namamu;

Kata paling indah yang pernah keluar dari mulutku

Aku ingin meminjam suaramu untuk kudengarkan

sambil memandang foto lama kita

Aku ingin kau memelukku sekali lagi

Pelukan yang begitu lembut dan mesra

Pelukan yang lebih indah dari puisi cinta

Pelukan yang begitu tipis

Hingga tak terasa aku telah memanggulnya ke mana-mana

2024

—

Toko Buku Tua

Di sesak Jalan Kemasan

di antara macet proyek galian dan papan

yang memberikan kecemasan; Awas ada lubang!

sepasang daun pintu terbuka

seperti Yesus yang mengulurkan tangan kepada si papa

seperti tangan buku-buku yang memelukmu

dalam pepohonan pengetahuan.

Dinding-dinding kayu,

matahari membias di jendela kaca

foto Sidartha dan Bunda Theresa dalam senyumnya yang

tak teraba.

Diri masuk dalam sepi sampul buku yang terkelupas

udara lembap dan angin Kotagede.

Di antara huruf-huruf yang berulang telah dituliskan

pepohonan ditebang jadi kertas

halaman kosong telah terisi

Bangku, meja, karpet dan rak terbuka

jejak tanganmu liar tak terduga.

Sebuah tangga dibangun bagi diri

yang memasuki alam liar masa depan.

Pelukan Masa Kecil

Aku amati rambutmu yang memutih

Tangan lembutmu berkerut seperti jari terendam asam

Telah lama aku tak memandang matamu

yang dulu bulat dan garang

Aku titipkan kasih sayangku lewat udara

yang tak pernah kau rasakan

Pada uap cangkir gelas jahemu yang begitu

sebentar membasahi cawan

Aku mengingat pelukan masa kecil itu

Pada jalanan menuju sekolah pertamaku

Rambutmu berantakan tersibak angin tanah lapang

Aku pikir masa depan begitu lurus seperti jalanan

yang kita lalui

Tapi tak ada satu pun peta yang dapat menunjukkan

di mana tempatnya

Kamu julurkan lenganmu

Kaki kecilku menyeberangi harapan

Bersama kentang rebus dalam kotak makanan

Kamu menitipkan semua yang terlintas dalam angan

Betapa jauhnya berpisah

Meski rumah kita hanya dibatasi pohon mangga

yang kita tanam

Suara nyanyian pengiring tidurku kian pudar

Cinta kita bagai redup neon dalam kelap-kelip karnaval

—

MUTIA SUKMA, lahir 1988. Kini aktivitasnya mengajar, menulis, dan meneliti. Harum Serbuk Tembok adalah buku puisinya yang segera terbit.

- Advertisement -
RELATED ARTICLES
- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments