Suatu sore, sepulang kerja, Tomi mengeluhkan lengan kanannya. ”Lihat sini, Ovi,” ia berkata kepada istrinya sambil pelan-pelan mengangkat lengannya tersebut.
“ADUH,” Ovi menjerit. ”Bagaimana bisa seperti ini? Apa yang terjadi kepadamu?”
”Tak tahu,” kata Tomi. ”Tiba-tiba saja jadi bengkak sebesar ini dan terasa linu sejak siang tadi.”
”Siang tadi?” Ovi kembali menjerit. ”Lenganmu sudah membengkak siang tadi dan kau tidak segera pulang?”
Tomi menggeleng. ”Mana bisa?” ia berkata. ”Mereka tidak mengizinkanku. Kau seperti tidak tahu saja.”
”Tapi lenganmu bengkak jadi sebesar betis!” Ovi kembali menjerit.
Ovi bermaksud membawa Tomi ke dokter. Namun Tomi menolak. ”Besok lengan ini akan kembali seperti sedia kala,” kata Tomi. ”Mungkin ini akibat gigitan serangga. Olesan minyak kayu putih pasti cukup mengatasi hal-hal seperti ini.”
”Kau benar-benar keras kepala,” Ovi bersungut-sungut.
Tomi tersenyum dan mengatakan bahwa Ovi tidak perlu berbasa-basi mengajaknya ke dokter karena bagaimanapun itu tidak mungkin. ”Kita sama-sama tahu kalau kita tidak punya dana cadangan ke dokter. Kita juga tidak punya asuransi apa pun. Sudahlah.”
Ovi menundukkan kepala. ”Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku peduli,” katanya.
”Aku tahu,” sahut Tomi. ”Aku tahu.”
”Seandainya pabrik tempatmu bekerja menyediakan asuransi kesehatan…”
”Sudahlah,” potong Tomi. ”Tak perlu berandai-andai. Sudah untung aku punya pekerjaan. Kau tahu, banyak orang di luar sana yang mati-matian mencari pekerjaan, namun tak seberuntung aku.”
”Aku tahu,” kata Ovi pelan. ”Tentu saja aku tahu.”
Keesokan harinya, ternyata bengkak di lengan Tomi semakin membesar alih-alih menghilang. Olesan minyak kayu putih sama sekali tidak bekerja atau mungkin minyak kayu putih tersebut bekerja dengan cara berkebalikan dari apa yang diharapkan Tomi.
Dan kini bengkak itu berkembang jadi hampir seukuran paha orang dewasa dengan garis-garis ungu merambat seperti akar serabut alang-alang. Ovi merebus air bercampur garam dan menggunakannya untuk mengompres lengan Tomi dengan panik dan mengeluh. Namun ternyata itu juga tidak membantu.
”Ada baiknya kau istirahat sehari,” kata Ovi. ”Izin tidak masuk kerja. Sudah sebulan terakhir ini kau tidak dapat jatah libur. Pabrik tempat kau kerja ini sungguh keterlaluan.”
Dan Tomi menggeleng. ”Kau tahu itu tidak mungkin,” kata Tomi. ”Mereka akan memecatku dan kita sama-sama tak menginginkan hal itu. Mereka sedang menggenjot produksi untuk mengejar pasar ekspor. Dan ada kemungkinan aku akan kerja lembur selama beberapa hari ke depan.”
Ovi menunduk. Ia memberesi kain kompres dan mengecup kening Tomi. ”Setidaknya, jangan bekerja terlalu berat nanti ya…”
”Ah,” Tomi tersenyum tipis. ”Kau tahu itu juga tidak mungkin.”
Sore harinya, Ovi menyambut Tomi yang pulang kerja dengan tubuh lemah dan muka kuyu. Seharian itu, Ovi dihajar kecemasan memikirkan bagaimana kondisi Tomi di tempat kerja. Ia bahkan tak bisa menelan makanan atau menenggak minuman karena lengan Tomi yang bengkak terbayang-bayang di pelupuk matanya.
Ovi beberapa kali menelepon Tomi meski ia tahu itu sia-sia sebab semua karyawan di pabrik tersebut harus menaruh ponsel dalam loker khusus selama mereka bekerja agar konsentrasi mereka tidak terganggu dengan hal-hal yang tak perlu.
”Kau terlihat sangat buruk,” kata Ovi sambil melepas jaket Tomi. Dan begitulah ia melihat sebuah jahitan melingkar di lengan kanan bagian atas Tomi.
”Demi Tuhan,” Ovi menjerit, ”apa lagi sekarang yang terjadi? Kenapa lenganmu jadi seperti ini?”
Lengan itu kini memang sudah tidak bengkak dan dijalari akar serabut berwarna ungu. Namun Ovi, demi apa pun, tahu bahwa itu bukan lengan Tomi yang biasanya. Ada tanda lahir berwarna hitam di lengan tersebut, dan demi apa pun, Ovi tahu Tomi tidak memilikinya.
Tomi mengatakan bahwa ia tidak bisa bekerja dengan baik seharian tadi dengan lengan yang bengkak dan linu dan semakin bengkak semakin linu seiring waktu. Ia beberapa kali gagal mengoperasikan mesin berat dan ia hampir menyebabkan kekacauan besar di pabrik.
Pengawasnya kemudian memanggilnya, bertanya apa yang terjadi, lalu sambil tersenyum manis menyuruh Tomi pergi ke satu ruangan yang terletak persis bersebelahan dengan bengkel tempat perbaikan sejumlah alat produksi yang tidak terlalu berat.
”Jangan khawatir,” kata si pengawas seperti yang ditirukan Tomi. ”Hal-hal seperti ini memang sering terjadi. Dan perusahaan selalu tahu bagaimana cara mengatasinya. Hanya perlu waktu beberapa menit dan kau akan keluar dari ruangan itu sebagai seseorang yang baru.”
”Apa yang terjadi di dalam ruangan itu?” Ovi bertanya.
”Seseorang menyuruhku tidur di atas tempat tidur putih bersih,” kata Tomi. ”Lalu ia menyuntikkan sesuatu. Dan aku tak tahu apa-apa lagi. Ketika terbangun beberapa saat kemudian, aku sudah mendapatkan lengan baru. Dan setelah itu, aku bisa kembali bekerja. Hanya, karena masih membiasakan diri dengan lengan baru ini, aku jadi terlihat lelah. Tapi semua baik-baik saja.”
Semua memang berjalan baik-baik saja, setidaknya sampai seminggu berikutnya. Tomi berangkat kerja tiap jam tujuh pagi dan pulang tiap jam lima sore –kadang lembur sampai pukul tujuh atau delapan malam. Ovi akan menyiapkan sarapan, bekal makan siang, dan menyambutnya dengan air hangat untuk mandi pada jam pulang sebelum mereka makan malam bersama.
Dan selama makan malam itu, mereka akan bicara banyak hal. Mereka bicara bagaimana pekerjaan Tomi seharian itu, apa saja yang dikerjakan Ovi di rumah, gosip terbaru di lingkungan sekitar tempat mereka kontrak, tertawa-tawa sambil mengenang masa lalu mereka, cita-cita yang mereka rumuskan ketika mulai berhubungan, angan-angan untuk punya rumah sendiri sebelum usia tiga puluh yang terbukti tidak terwujud, dan lain sebagainya.
Namun, persis seminggu setelah itu, Tomi pulang kerja dengan wajah kuyu. Lebih kuyu ketimbang sewaktu Ovi mendapatinya sampai rumah dengan lengan kanan bengkak sebelumnya
”Apa yang terjadi kali ini?” Ovi hampir menangis melihat wajah Tomi.
Dan Tomi mengatakan bahwa lengan kirinya tiba-tiba kram parah sewaktu Tomi tengah mengoperasikan forklif. Ia minta izin untuk istirahat, namun pengawas malah menyuruhnya masuk ke ruangan yang dulu ia masuki untuk mengganti lengan kanannya.
Dan begitulah Tomi masuk ke ruangan itu. Seseorang memintanya tidur. Seseorang menyuntikkan sesuatu. Dan ketika terbangun beberapa saat kemudian, ia mendapati lengan kiri baru menggantikan lengan lamanya yang kram. Dan ia kembali bekerja.
”Tapi semua akan baik-baik saja,” kata Tomi. ”Memang begitulah yang namanya bekerja.”
Tomi melepas jaketnya dan menunjukkan lengan barunya kepada Ovi. Lebih gelap dan lebih berotot ketimbang lengan asli Tomi.
”Demi Tuhan,” Ovi menjerit.
”Tak apa,” kata Tomi. ”Lihat, semua baik-baik saja.”
Tomi mengepalkan jari-jari tangan kirinya. Menekuk lengannya ke atas. Dan berlagak seperti seorang binaraga. ”Aku hanya perlu tidur nyenyak malam ini dan dengan lengan semacam ini, besok aku bisa bekerja lebih keras lagi.”
Seperti sebuah siklus, semua memang berjalan baik-baik saja sampai tiga belas hari kemudian, ketika Tomi pulang kerja dengan wajah lebih kuyu ketimbang sebelumnya disertai dengan kaki kiri yang baru.
”Kakiku terkilir,” kata Tomi kepada Ovi. ”Dan karena kaki yang terkilir akan mengganggu produktivitas kerja, mereka menggantinya dengan kaki kiri yang baru.”
Kaki kiri baru Tomi adalah kaki kiri berbulu lebat dan berukuran satu setengah kali lebih besar ketimbang kaki asli Tomi. Ovi tidak suka melihatnya, apalagi dengan bekas jahitan yang kasar dan bergeronjal. Ketika berdiri telanjang di depan Ovi, postur tubuh Tomi tampak sangat tidak proporsional.
”Kau terlihat seperti Frankenstein,” kata Ovi.
Dan Tomi tertawa.
”Dengan kaki seperti ini,” kata Tomi, ”aku akan lebih produktif lagi dan bakal menjadi karyawan terbaik bulan ini. Dan kau tahu apa artinya? Bonus lebih.”
Tomi tidak menjadi karyawan terbaik bulan itu, namun Tomi benar-benar menjadi Frankenstein tujuh bulan kemudian. Selama waktu itu, Tomi telah mengalami pergantian kaki kanan setelah kaki itu tergencet mesin pres, pergantian lambung setelah Tomi muntah-muntah akibat serangan asam lambung, pergantian dada beserta segenap jeroannya lantaran tiba-tiba ia terkena sesak napas, pergantian mata setelah pandangannya berkunang-kunang dan mengakibatkan ia salah memasukkan bahan produksi, pergantian telinga setelah ia tiga kali tidak mendengar panggilan pengawas, dan pada akhirnya pergantian otak karena pengawas menilai ia terlalu lambat berpikir.
”Apakah kau masih Tomi yang sama?” Ovi bertanya sore itu setelah untuk kali kesekian ia bergidik melihat bekas-bekas jahitan dan sambungan di tubuh Tomi.
”Tentu saja,” Tomi berkata dengan suara serak akibat pergantian kerongkongan.
”Kau terlihat…” Ovi berhenti sejenak. ”Sangat berbeda,” Ovi melanjutkan pada akhirnya.
”Semua orang yang bekerja di pabrik-pabrik besar dan berkembang seperti aku,” kata Tomi, ”akan mengalami hal seperti yang aku alami. Ini wajar. Tidak ada yang aneh.”
Ovi mencoba percaya.
”Hatiku masih untukmu,” kata Tomi kemudian. ”Itu yang terpenting.”
Tomi meraih tangan Ovi dan membawa tangan itu ke dadanya. ”Rasakan,” bisik Tomi. ”Hanya namamu yang berbunyi di hatiku.”
”Tapi mereka telah mengganti jeroanmu,” Ovi hampir terisak.
”Tapi tidak dengan hati yang selalu menyebut namamu, hanya jeroan fisik yang bisa mereka ganti,” bisik Tomi. Dan mereka berangkulan. Ovi menangis.
Suatu kali, Ovi tahu bahwa hati Tomi tidak lagi menjadi miliknya. Itu terjadi pada bulan kesebelas semenjak pergantian lengan kanan Tomi, ketika Tomi pulang sebagai zombi. Satu-satunya yang keluar dari mulut Tomi adalah kerja, kerja, kerja. Dan ketika Ovi bertanya apa yang terjadi, Tomi masih saja mengucapkan kerja, kerja, kerja.
”Mereka telah mengganti hatinya,” desis Ovi, tanpa merasa perlu memeriksa tubuh Tomi. ”Hati nuraninya yang sebelumnya hanya milikku.”
Ovi tahu, tak ada lagi bagian dari Tomi yang tersisa untuknya. (*)
—
*) DADANG ARI MURTONO, Lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Saat ini tinggal di Samarinda dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.