PALANGKA RAYA,PROKALTENG.CO – Debat kedua yang mempertemukan pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) berlangsung penuh adu gagasan dan ide. Dengan tema inovasi pelayanan publik, debat ini menuntut para paslon untuk menunjukkan kreativitas mereka.
Namun, esensi debat tidak hanya soal gagasan dan ide, tetapi juga sikap kritis dalam berdebat. Hal ini disampaikan oleh pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Palangka Raya, Farid Zaky.
Menurut Farid, para paslon terlihat sangat berhati-hati, seperti yang terjadi pada debat pertama, di mana masing-masing berusaha menjaga posisi tanpa saling mengkritik.
“Debat pertama cenderung aman dan minim kritik,” ujar Farid Zaky.
Oleh karena itu, ia mengharapkan debat kedua menjadi lebih kritis. Paslon harus mampu menyampaikan program utama secara lugas dan menjelaskan tindakan yang akan diambil. Farid menegaskan bahwa paslon harus langsung menyampaikan poin-poin inti dan memberikan solusi konkret atas pertanyaan yang diajukan.
“Saya kira, paslon sebaiknya tidak mengulangi pertanyaan panelis. Langsung saja ke inti dengan menawarkan program yang menjadi daya jual,” katanya.
Farid juga menekankan bahwa debat seharusnya memberi kesempatan paslon untuk menyampaikan program yang lebih mendetail dibandingkan dengan yang ditampilkan di baliho-baliho.
Dalam debat, paslon harus mampu beradu argumen dan kritik secara konstruktif sehingga menghasilkan solusi baru. Menurut Farid, daripada saling menyerang, lebih baik paslon mengkritisi janji, visi, misi, dan program yang diusung. Kritik yang sehat dalam adu gagasan sangat penting agar debat tidak monoton.
“Debat harus dinamis, tidak normatif, dan jangan monoton. Silakan saling mengkritisi kebijakan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti bahwa inovasi dalam pelayanan publik harus diiringi dengan solusi nyata. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan dalam debat sebaiknya disusun berdasarkan data, seperti indeks pelayanan publik. Farid menekankan bahwa pelayanan publik masih sering dikeluhkan, terutama terkait waktu dan responsivitas petugas di daerah perkotaan dan terpencil. Banyak masalah, seperti pengurusan E-KTP dan perizinan, membutuhkan inovasi.
“Kita berharap calon pemimpin dapat mengeksplorasi solusi seperti layanan keliling atau digitalisasi dalam debat kedua,” ujarnya.
Farid juga mengingatkan bahwa pelayanan publik yang baik mempengaruhi investasi, sehingga reformasi birokrasi yang efisien sangat penting.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Palangka Raya (UPR), Ricky Zulfauzan, mengatakan bahwa tema debat kali ini sangat menarik karena menyentuh dinamika hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam inovasi pelayanan publik di negara yang cenderung sentralistik. Ia menyoroti pentingnya mengatasi patologi birokrasi di daerah dan melaksanakan reformasi birokrasi yang bersih dan melayani.
“Berdasarkan pandangan W. Riggs, ada lima ciri birokrasi di negara berkembang, yaitu bertindak seperti tuan, cenderung korup, boros, tidak efisien dalam penggunaan waktu. Semua ini harus diperbaiki,” tegas Ricky.
Ricky menilai bahwa debat pertama kurang menarik karena terlalu kaku dan alokasi waktu yang tidak realistis. Ia menyoroti bahwa waktu tanya jawab yang hanya satu menit untuk bertanya dan dua menit untuk menjawab tidak cukup untuk menjelaskan dengan baik.
“Saya merekomendasikan adanya fleksibilitas waktu dalam debat, karena setiap penjelasan memerlukan pendahuluan, isi, dan penutup,” katanya.
Ricky menambahkan bahwa moderator harus lebih luwes dalam mengatur diskusi dan menghentikan pembicaraan jika sudah keluar dari fokus. (irj/ala/kpg)