Jannet akhirnya bisa mendapatkan tiket kereta cepat di hari gawat menjelang libur panjang Hari Buruh: dari Shanghai ke Rizhao. Itu perjalanan empat jam.
Di tiket itu tertulis nomor perjalanannya ”D2162”. Huruf ”D” di situ menunjukkan ini kereta cepat yang tidak terlalu cepat. Kecepatannya hanya sekitar 200 km/jam. Berbeda kalau huruf di depan nomor itu tertulis ”G”. Berarti kecepatan keretanya sampai 350 km/jam. Sama dengan Whoosh Jakarta-Bandung.
”D” singkatan dari ”Dong” (gerak maju). ”G” singkatan dari ”Gao” (tinggi, kecepatan tinggi).
Memang untuk jurusan antar kabupaten di kawasan ”kering” tidak ada kereta ”G”. Termasuk jurusan Shanghai-Qingdao ini. Tidak akan melewati kota besar. Tiga kali berhenti tiga-tiganya kota kecil –kecil ukuran Tiongkok: Yancheng, Lianyungang, dan Rizhao. Ini mirip jalur Bandung-Tasik-Kroya-Kutoarjo-Yogyakarta.
Masih ada satu jenis kereta cepat lagi. Kode huruf depannya: C. Misal, C676. Itu berarti kereta cepat yang paling lambat: hanya berkecepatan 160 km/jam. Biasanya itu khusus jurusan antar kota dalam satu provinsi.
Sebenarnya kalau Jakarta-Surabaya bisa sama dengan yang C itu saja, sudah bisa empat jam perjalanan –dari sekarang delapan jam.
Berkat kegigihan Jannet saya bisa tiba di kota kecil Rizhao. Anda masih ingat Jannet: yang ikut saya keliling Amerika pakai mobil bersama suaminyi.
Saya heran: kenapa Indonesia mengirim dokter spesialis jantung sekolah konsultan di Rizhao. Setingkat Trenggalek untuk Jatim. Atau Lubuklinggau untuk Sumsel. Bukan ke Beijing, Shanghai, atau Guangzhou.
Meski ini kota kecil, ternyata RS Rizhao salah satu pusat penanganan jantung. Ini rumah sakit pendidikan untuk universitas kedokteran Qingdao. Ini RS swasta. Pendirinya ahli jantung terkemuka Tiongkok: Prof Ge Junbo. Ia ayatullah-nya jantung di Tiongkok.
Ahli jantungnya: 30 orang. Padahal jumlah tempat tidur pasiennya hanya 200. Itu pun tidak semua untuk jantung. Masih ada banyak departemen. Termasuk ortopedi. Ruang operasinya: lima teater.
Hari kedua di Rizhao saya makan siang dengan tim dokter dari ortopedi. Hadir juga investor rumah sakit ini: Steven Song, putra asli Rizhao, pengusaha besar, bukan dokter.
Tempat makannya sama dengan makan siang dengan tim ahli jantung di hari pertama: di kantin VIP rumah sakit itu.
Selesai makan siang saya kembali diajak keliling rumah sakit. Melihat fasilitas ruang operasi. Kebetulan lagi ada operasi untuk orang yang terkena stroke.
Saya lihat tiga MRI/CT-nya buatan Eropa. Tapi salah satunya sudah buatan Tiongkok sendiri. Mutunya masih kalah, tapi itu soal waktu. Generasi berikutnya sudah pasti lebih baik. Tiga tahun lagi Anda sudah akan bisa menjalani MRI made in China di Indonesia: pasti lebih murah. Dengan demikian, tidak lama lagi RSUD kabupaten pun akan bisa beli MRI –asal ahlinya segera ada.
Sang ayatullah kini lebih banyak di Beijing dan Shanghai. Tapi Dr Junbo putra daerah Rizhao. Orang tuanya masih di Rizhao. Karena itu ia ikut memimpin rumah sakit ini. Sesekali masih datang ke sini.
Saya diminta meninjau rumah sakit itu. Saya pun geleng kepala: di kabupaten sekecil ini punya RS sebagus itu. Saya berterima kasih dua ahli jantung Indonesia sudah boleh belajar jadi konsultan jantung di sini.
Dua dokter itu: dr Jagaddhito (Unair-UGM) dan dr Rachim Enoch (Unpad-Unpad). Jagaddhito putra mantan rektor ITS. Aktivis mahasiswa Surabaya. Rachim orang Singkawang.
Dua-duanya merasa beruntung sekolah satu tahun di Rizhao. Ini kota kecil tapi peralatan dan sistemnya modern. Biaya hidupnya juga murah. Temannya yang dapat sekolah di kota besar harus ”defisit”. Beasiswanya habis hanya untuk sewa apartemen.
Dari Jagaddhito saya tahu: di kota sekecil ini pun ada 20 mahasiswa dari Indonesia. Mereka kuliah e-commerce. Didominasi wanita. Beberapa di antaranya berjilbab. Salah satunya dari Banyuwangi. Dari Muncar. Ayahnyi sopir truk.
Saya ajak mereka makan malam. Mereka pilih di resto halal Xibei. Resto baru. Modern. Bersih. Sayang, nasinya sudah habis. Tinggal mie dan daging. Untung satenya masih banyak. Sate domba khas wilayah muslim di Barat Laut yang gurih.
Mereka lantas menawarkan saya ke pantai Wan Ping Kou (万平口). ”Gerbang Kedamaian Abadi”. Pagi-pagi. Sebelum pukul lima: harus melihat matahari terbit.
Orang Rizhao terlalu bangga dengan matahari terbitnya. Mereka bilang, matahari bukan terbit dari timur, tapi dari Rizhao.
Benar. Indah sekali. Klaim itu tidak berlebihan.
Setelah matahari meninggi kami duduk santai di pasir. Dialog pagi. Tentang apa saja: agama, komunisme, meritokrasi, pertumbuhan ekonomi (lihat Disway besok atau lusa).
Usai ”kuliah pantai” saya ajak mereka makan pagi di hotel tempat saya bermalam: Xilaideng. Tanyalah ke perusuh Milwa, apa nama hotel itu kalau di Indonesia.
Kami sarapan besar di hotel bintang lima itu. Mereka lebih tahu Rizhao daripada saya. Mereka menemukan makanan khas daerah Rizhao. Ternyata hotel bintang lima ini menyediakan pula masakan lokal: 煎饼. Jian bing. Pancake. Lebih mirip burrito. Enak. Tambah-tambah.
Para mahasiswa itu bukan dari yayasan kami. Mereka lewat Yayasan Bina Anak Indonesia Kompeten (BAIK) bekerja sama dengan program Pijarnya Telkom. Pendiri Yayasan BAIK adalah Daniel Octavianus Atmaja, ketua Gema PSMTI –Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia– Jatim.
Mereka campur: Tionghoa, Jawa, Manado, Batak, Melayu, Bali, Islam, Kristen, Hindu, Buddha, berjilbab, you can see, tampak rukun. Bersenda gurau.
Kini, di Rizhao, mereka punya 老大: dr Jagaddhito dan Rachim. Mereka seminggu sekali dapat perbaikan gizi –meski di Rizhao tidak ada MBG.(Dahlan Iskan)