Sistem kerja hybrid kini telah menjadi tren, terutama di banyak perusahaan di seluruh dunia. Sistem kerja hybrid ini merupakan kombinasi antara bekerja dari rumah (remote) dan di kantor (onsite).
Banyak perusahaan yang mulai mengadopsi sistem ini secara permanen karena dianggap memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada para pekerja tanpa mengorbankan produktivitas.
Meski menawarkan fleksibilitas bagi para pekerja, muncul pertanyaan penting: apakah sistem ini benar-benar mampu menciptakan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, atau justru menimbulkan tantangan baru bagi para pekerja?
Manfaat Nyata dari Sistem Hybrid terhadap Work-Life Balance
Salah satu keuntungan utama dari bekerja dengan sistem hybrid adalah fleksibilitas. Karyawan dapat memilih kapan dan di mana mereka merasa paling produktif.
Hal tersebut memungkinkan mereka untuk menyesuaikan waktu kerja dengan kehidupan pribadi, seperti mengantar anak sekolah, olahraga di pagi hari, atau menghindari kemacetan panjang.
Melansir dari laman Gallup Workplace, setidaknya terdapat sekitar 54 persen karyawan mengatakan bahwa fleksibilitas waktu kerja merupakan faktor utama dalam meningkatkan kepuasan kerja mereka.
Waktu tempuh dari dan ke kantor sering kali menjadi salah satu sumber stres utama bagi para pekerja.
Dengan adanya sistem kerja hybrid ini, waktu yang seharusnya digunakan untuk perjalanan dari atau ke kantor dapat dialokasikan untuk kegiatan lain, seperti memasak, membaca, atau menghabiskan waktu bersama keluarga.
Dalam studi oleh The Guardian, disebutkan bahwa setidaknya terdapat 75 persen responden yang merasa lebih sehat dan produktif karena tidak perlu melakukan perjalanan harian ke kantor mereka.
Dengan ritme kerja yang lebih fleksibel, dapat menurunkan tingkat stres karyawan menjadi lebih rendah. Selain itu, mereka juga merasa lebih memiliki kontrol lebih atas waktu mereka, yang sangat penting untuk kesejahteraan mental.
Mengutip dari salah satu penelitian berjudul ‘The Effect of Employee-Oriented Flexible Work on Mental Health: A Systematic Review’ dalam International Journal of Environmental Research and Public Health, disimpulkan bahwa kontrol waktu kerja yang tinggi berhubungan dengan risiko depresi yang lebih rendah.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kontrol atas durasi kerja, waktu mulai dan selesai kerja, serta waktu istirahat dapat memengaruhi gejala depresi pada para pekerja.
Tantangan Tersembunyi dari Sistem Hybrid
Di balik kemudahan fleksibilitas, muncul tantangan baru, yaitu banyaknya pekerja yang merasa bahwa mereka ‘selalu bekerja’ meskipun secara fisik berada di rumah.
Hal ini disebut sebagai digital presenteeism, yaitu tekanan para pekerja untuk selalu online dan responsif, bahkan saat mereka sedang istirahat atau di luar jam kerja.
Digital presenteeism ini mengaburkan batas waktu pribadi dan profesional, yang dapat menyebabkan kelelahan jangka panjang bagi para pekerja hybrid.
Meski kerja dari rumah menyenangkan, isolasi sosial dapat terjadi. Ketidakhadiran fisik di kantor bisa membuat karyawan merasa terputus dari budaya organisasi, tidak dilibatkan dalam diskusi penting, atau bahkan tertinggal dari peluang karier.
Banyak pekerja hybrid yang merasa kurang terhubung dengan tim, jika dibandingkan saat mereka bekerja dari rumah (remote) dan di kantor (onsite).
Penggunaan berlebihan terhadap platform digital seperti Zoom, Gmeets, dan sebagainya, bisa menyebabkan apa yang disebut dengan “Zoom fatigue.”
Zoom fatigue merupakan kondisi kelelahan mental yang terjadi pada para pekerja akibat penggunaan platform digital, seperti Zoom atau aplikasi serupa secara berlebihan,dan minim istirahat.
Tips Meningkatkan Work-Life Balance dalam Sistem Hybrid
Hindari bekerja dari tempat tidur atau ruang keluarga. Ruang kerja yang terpisah membantu otak membedakan kapan harus fokus dan kapan harus istirahat.
Alokasikan waktu khusus untuk tugas-tugas penting, istirahat, dan kegiatan pribadi. Ini membantu menjaga disiplin dalam penggunaan waktu.
Jangan ragu untuk menyampaikan kebutuhan pribadi atau batasan kerja kepada atasan. Transparansi membantu menjaga ekspektasi yang realistis.
Kecuali untuk hal yang sangat mendesak, nonaktifkan notifikasi agar tidak terus merasa ‘bekerja’ sepanjang waktu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa work-life balance dalam dunia hybrid bisa menjadi kenyataan jika dikelola dengan strategi yang tepat, baik oleh individu maupun organisasi.
Namun, tanpa manajemen waktu dan batasan yang jelas, sistem hybrid ini justru bisa memperburuk kelelahan mental dan isolasi sosial.
Sistem hybrid bukan solusi instan, tetapi jika dilakukan dengan pendekatan manusiawi dan berkelanjutan, sistem ini dapat menjadi jalan menuju kehidupan kerja yang lebih seimbang, sehat, dan produktif.(jpc)