Tawaf saat Haid Apakah Boleh? Ini Penjelasan PPIH Arab Saudi untuk Jemaah Haji

- Advertisement -

PROKALTENG.CO-Wukuf dan tawaf adalah dua rukun haji yang wajib dilaksanakan oleh seluruh jemaah, termasuk perempuan. Namun, bagaimana jika jemaah perempuan sedang haid (menstruasi) saat tiba masa wukuf di Arafah atau hendak melaksanakan tawaf di Masjidil Haram?

Menjawab kegelisahan tersebut, Pembimbing Ibadah (Musytasyar Din) Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, Abdul Moqsith Ghazali, menjelaskan secara rinci panduan fikih yang bisa diikuti jemaah haji perempuan dalam kondisi tersebut.

“Jangan khawatir bagi perempuan yang wukuf tapi masih haid, maka wukufnya tetap sah. Hanya saja ia masih menanggung tawaf Ifadah yang disyaratkan untuk suci,” jelas Moqsith dalam penjelasan resmi yang dirilis oleh Media Center Haji, Sabtu (18/5).

Moqsith menegaskan bahwa dari seluruh rangkaian rukun haji, hanya tawaf Ifadah yang mensyaratkan kesucian dari hadas besar seperti haid. “Wukuf tidak mensyaratkan suci, sehingga perempuan haid tetap sah wukufnya,” katanya.

Tawaf Ifadah bagi Jemaah Haid

Bagi jemaah perempuan yang haid dan belum sempat melaksanakan tawaf Ifadah hingga menjelang kepulangan ke Tanah Air, ada solusi fikih yang dapat ditempuh. Mengutip pendapat sebagian ulama seperti Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki Al-Makki, Moqsith menyebutkan bahwa perempuan dalam keadaan haid tetap boleh melaksanakan tawaf dengan syarat tertentu.

“Jika ia masih dalam keadaan haid dan harus segera pulang, maka ia bisa bertawaf dengan cara mandi sampai bersih, lalu membalut darah haidnya agar tidak menetes di area tawaf atau Masjidil Haram,” jelasnya.

Solusi ini dianggap penting karena jadwal kepulangan jemaah ditentukan oleh sistem terpadu yang tidak dapat diubah sepihak. “Kita sudah diatur oleh sistem kepulangan. Maka yang belum dalam keadaan tahallul penuh atau belum tawaf Ifadah tapi masih berhalangan, boleh tawaf dalam keadaan haid dengan prosedur yang disebutkan,” lanjutnya.

Saat Menstruasi Tiba di Makkah

Untuk jemaah perempuan yang datang ke Makkah dalam keadaan haid dan belum sempat melaksanakan umrah wajib (bagi yang berhaji Tamattu’), maka mereka diminta menunggu hingga suci. Selama masa tunggu tersebut, larangan ihram tetap berlaku.

Jika hingga 8 Dzulhijjah jemaah belum juga suci, maka diperbolehkan mengubah niat haji dari Tamattu’ menjadi Qiran. Selanjutnya, jemaah dapat langsung mengikuti prosesi ibadah haji, dimulai dari wukuf di Arafah. “Namun baginya dikenakan dam satu ekor kambing sebagaimana syarat haji Qiran,” terang Moqsith.

Mengatasi Potensi Batal Wudhu saat Tawaf

Permasalahan lain yang kerap muncul dalam pelaksanaan tawaf adalah bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Ini menjadi kekhawatiran bagi jemaah yang mengikuti mazhab Syafi’i, karena dalam mazhab ini, bersentuhan kulit lawan jenis membatalkan wudhu.

“Untuk itu, jemaah bisa mengambil rukhshah (keringanan) dengan mengikuti mazhab Hanafi, di mana bersentuhan kulit dengan lawan jenis tidak membatalkan wudhu,” terang Moqsith.

Ia juga menjelaskan bahwa tawaf berbeda dengan salat. “Kalau salat tidak boleh bicara, makan, dan minum. Tapi tawaf boleh bicara, bahkan boleh minum atau makan,” tambahnya.

Moqsith menegaskan kembali bahwa dalam kondisi ihram maupun saat tawaf, jemaah perempuan tidak diperkenankan memakai cadar yang menutup wajah secara langsung. “Wajah dan telapak tangan perempuan bukan aurat. Maka harus dibuka saat ihram dan tawaf,” katanya.

Penjelasan ini menjadi penting agar jemaah perempuan dapat menjalani ibadah haji dengan tenang, paham, dan sesuai tuntunan syariat. Pemerintah berharap para jemaah, khususnya perempuan, dapat mempersiapkan diri secara fikih dan mental, serta tetap menjaga ketenangan dan kekhusyukan selama berhaji.

“Haid adalah kodrat. Dan Islam memberikan solusi yang adil dan manusiawi bagi perempuan. Maka jangan panik. Semua ada jalan keluarnya,” tutup Moqsith. (jpc)

 

- Advertisement -
RELATED ARTICLES
- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments