DARURAT dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dideskripsikan sebagai keadaan sukar (sulit) yang tidak tersangka-sangka (dalam bahaya, kelaparan, dan sebagainya) yang memerlukan penanggulangan segera. Aksi dan demonstrasi massa terjadi merata hampir di seluruh wilayah Indonesia, termasuk fenomena darurat yang tak mudah dipadamkan.
Segitiga Api
Sebuah fenomena besar bisa terjadi karena ada tiga hal sebagaimana prinsip segitiga api: sumber api, bahan mudah terbakar, dan oksigen.
Sumber apinya adalah aksi reaktif DPR melalui baleg terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 dan Nomor 70 mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah dan batas usia pencalonan kepala daerah.
Tingkah Baleg DPR yang reaktif adalah cetha wela-wela akan nirempatinya terhadap suara dan kondisi aktual rakyat. Sangat mungkin ada semacam kepercayaan diri berlebihan bahwa tindakan tersebut bisa lolos begitu saja sebagaimana yang terjadi sebelum-sebelumnya.
Faktor kedua dalam segitiga api, bahan yang mudah terbakar. Kondisi sosial masyarakat secara umum tidaklah terlalu baik. Indikator-indikator mikro sosial budaya, termasuk ekonomi, sedang berada dalam trayektori yang tidak terlalu baik.
Reaksi publik hingga menjadi aksi, didominasi oleh kelas menengah yang relatif terdidik, adalah bahan yang mudah terbakar, bahkan mudah meledak. Protes atas ulah Baleg DPR disuarakan banyak selebriti dan pemengaruh yang punya amplifikasi cukup besar di media sosial.
Dan, jangan lupakan satu komponen utama: mahasiswa. Bahkan, kali ini mahasiswa turun ke jalan tidak hanya karena faktor peer sesama mahasiswa, tapi juga didukung oleh keluarga seniornya: generasi yang merasakan 1998.
Semua komponen ini didominasi oleh kelas menengah: mahasiswa yang beruntung bisa kuliah, selebriti dan pemengaruh, pekerja kantoran, serta penonton konser yang beruntung masih mampu membeli tiket. Psikologi politis dari kelas menengah ini berbeda jauh dengan kelas bawah, yang relatif ”terjaga” kesehariannya dengan jaring pengaman sosial.
Dan, faktor ketiga dalam segitiga api adalah oksigen. Sebuah kebakaran besar tidak cukup hanya dengan korek api dan bensin saja. Perlu oksigen untuk bisa menyala. Dalam aksi massa kali ini, sangat cukup oksigen yang memungkinkan untuk terjadinya aksi massa. Ada tiga hal yang saya catat.
Pertama, akrobat politik yang terjadi belakangan ini: masalah IKN, partai-partai politik dan dinamika di dalamnya, serta reshuffle kabinet contohnya. Semua itu ”dipertontonkan” langsung di depan masyarakat. Kedua, peran akademisi, cendekiawan, dan pers.
Analisis dan perspektif yang disampaikan akademisi dan para cendekiawan di media arus utama yang dipantik dari putusan MK memberikan dukungan argumentatif yang cukup kuat bagi masyarakat untuk bergerak.
Yang kemudian kita saksikan bersama pula bukan hanya sikap sebagai individu, melainkan melalui institusi, kampus khususnya. Ketiga, dan ini yang agak miris, adalah berkaitan dengan indikasi pencalonan anak presiden. Fenomena kurang pantas tersebut menjadi salah satu oksigen yang memungkinkan nyala aksi massa terjadi.
Media Sosial
Dari semua hal tersebut, satu yang membuat saya tidak berhenti terkagum-kagum: media sosial. Bagi saya generasi analog, media sosial sering kali mengejutkan saya. Termasuk kali ini.
Pergaulan saya dalam Kolokium.id, sebuah kelompok aktivis medsos yang digerakkan anak-anak muda, membuat saya terpapar dengan akselerasi-akselerasi di dunia digital.
AI (artificial intelligence) salah satunya. Dan kali ini saya melongo dengan apa yang disebut OSINT (open source intelligence). Ternyata melalui metode OSINT inilah fenomena kurang pantas itu terkuak, bahkan kemudian merambat dengan sangat cepat dan masif. Salah satunya hingga berhasil memaksa operator atau pemilik jet pribadi ”menghapus” data penerbangannya.
Di samping itu, media sosial sangat membantu rekan-rekan pers untuk mengonsolidasikan diri selama aksi, rekan-rekan medis dan logistik dalam mendukung aksi, atau rekan-rekan bantuan hukum. Jangan pula terlewatkan, media sosial menjadi tempat dokumentasi segala hal yang berkaitan dengan aksi. Persis seperti dalam pengamatan Nazir Afzal, seorang jaksa pada peristiwa kerusuhan Inggris 2011, ketika melihat peran media sosial di kerusuhan Inggris 2024.
Darurat Komunikasi Politik
Dalam silang sengkarut dan interaksi dalam semua kejadian di atas, ada pola komunikasi tidak baik yang terjadi. Komunikasi yang terjadi belakangan ini lebih terkesan mempertahankan argumentasi dengan kuda-kuda merasa paling benar atau benar sendiri.
Tidak terlihat adanya pola komunikasi di mana kesediaan saling mendengar menjadi alas duduknya.
Khusus dalam bingkai komunikasi politik, tidak ada proses pendidikan politik yang terlihat dari seluruh proses komunikasi ini. Partai politik dan lembaga politik, alih-alih meneladankan pendidikan politik, yang terjadi adalah hegemoni dan pertunjukan saru politik di hadapan konstituen. Darurat komunikasi politik yang menyeret jauh menjadi peringatan darurat.
Kalau salah satu tujuan komunikasi adalah saling mendengarkan untuk kemanfaatan bersama, demikian pula berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selama ini komunikasi politik antara penyelenggara negara dan rakyat cenderung satu arah: rakyat ”dipaksa” memaklumi tingkah polah penyelenggara negara yang mewakilinya.
Mungkin ini saatnya penyelenggara negara, institusi, dan aktor politik memberi porsi jauh lebih banyak untuk mendengarkan apa yang disampaikan rakyat sebagai konstituen yang mengantarkan mereka ke panggung kekuasaan. (*)
*) SUKO WIDODO, Dosen Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga, Founder Kolokium.Id