DI forum munas belum lama ini, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia membuat pernyataan soal Raja Jawa. Dia mengingatkan agar ke depan Golkar tidak boleh main-main dengan sang raja.
Pernyataan Bahlil itu jelas menggelikan. Bukan soal nada mengancamnya, tetapi dia berbicara seolah-olah negara ini dimiliki oleh aktor politik tunggal. Dia memang tidak menyebut aktor politik yang dimaksud.
Namun, semua bisa menerka siapa sesungguhnya aktor yang disebut sebagai Raja Jawa. Itu artinya Bahlil memosisikan negara ini berbentuk monarki absolut dengan pemimpinnya si Raja Jawa, bukan republik.
Dengan pernyataannya itu, dia seakan ingin menduplikasi slogan lama Raja Louis XIV yang sangat terkenal, ”L’État, c’est moi”, yang secara harfiah berarti ”Negara adalah saya”.
”L’État, c’est moi”
Raja Louis XIV memerintah Prancis selama 72 tahun (1643–1715). Itu adalah masa berkuasa paling lama di Eropa. Louis memerintah dengan stempel ilahi, menerima otoritas langsung dari Tuhan. Dengan stempel itu, Louis dengan mudah memadamkan pemberontakan sekaligus memapankan legitimasi kekuasaan absolutnya.
Sebagai raja absolut, Louis tidak tunduk pada batasan konstitusional apa pun dan di hadapan parlemen Prancis pada 13 April 1655 dia tidak segan mengatakan ”l’etat, c’est moi”. Itulah mengapa, Estates General, badan legislatif Prancis, selalu diabaikan Louis dalam setiap pengambilan keputusan krusial.
Tanpa perlawanan yang berarti, Louis pernah mencabut Dekrit Nantes dan mengenakan pajak tinggi kepada rakyatnya untuk melancarkan perang yang sangat merugikan dalam melawan Belanda dan Inggris.
Louis juga menyebut dirinya sebagai le Roi Soleil, Raja Matahari, yang mahatahu sekaligus pusat dari alam semesta.
Menyadari pentingnya simbolisme kekuasaan, Louis dan para penasihatnya memulai banyak proyek berskala besar. Yang paling berkesan adalah perluasan Versailles dari pondok berburu yang agak sederhana (setidaknya menurut standar kerajaan) menjadi istana berlapis emas serta dikelilingi jutaan bunga dan tanaman. Louis memerintah dari bangunan yang disebut paling megah di Eropa tersebut. Istana Versailles adalah simbol sempurna kekayaan dan kekuasaan Louis.
Untuk mempertegas kekuasaan absolutnya, Louis kemudian mempekerjakan banyak seniman. Hyacinthe Rigaud menjadi salah satu seniman yang paling penting. Dia merupakan pelukis utama raja.
Rigaud ditugaskan melukis sosok Louis. Seperti Versailles, Rigaud melukiskan Louis dengan mewah: setiap detail lukisan dimaksudkan untuk mempertegas supremasi raja dan otoritas ilahinya. Louis, berpakaian sangat mewah, mengenakan jubah penobatannya. Bahkan, bahan jubahnya memperkuat citra raja: bulu cerpelai hitam-putih dan bunga lili biru-emas, merupakan simbol monarki Prancis.
Rigaud juga melukis Louis dengan pedang kerajaan yang diikatkan di pinggangnya, material berharga yang menambah suasana mewah sekaligus melambangkan kekuatan militernya. Di tangan kanannya, Louis memegang tongkat kerajaan, sementara mahkotanya diletakkan di atas meja di bawahnya.
Rambut Louis juga diperhatikan Rigaud. Sekilas, bagi orang zaman sekarang, rambut Louis akan dilihat mirip seperti gitaris band rock legendaris Queen, Bryan May, daripada raja absolut berusia enam puluh tiga tahun. Namun, rambut Louis menjuntai di jubah kerajaannya, mewakili raja yang masih muda dan kuat.
Demikian pula dengan kaki Louis, ditampilkan dengan cerdik dan mencolok. Padahal, saat itu Louis dalam keadaan sakit dan harus mencabut beberapa gigi karena infeksi. Louis berpose dengan jubah megahnya yang menutupi bahu dan memperlihatkan anggota tubuh bagian bawahnya.
Itu sengaja dilakukan mengingat Louis merupakan penari balet di masa mudanya dan bangga dengan kaki penarinya. Kakinya, meskipun kontras dengan wajahnya yang sudah tua, menunjukkan seorang pria yang bersemangat dan kuat.
Rigaud lalu menutup lukisannya dengan meredam wajah raja yang sudah usang itu dengan sosok Louis yang atletis. Dengan sepatu hak tinggi, Louis tampak terlihat lebih jangkung dari biasanya. Di sini, Louis dilukis Rigaud dengan ideal. Kakinya yang berotot dan rambutnya yang berkilau membuatnya makin terlihat menarik.
Melalui lukisan Rigaud dan kiprahnya selama berkuasa kita bisa gambarkan bahwa Louis merupakan contoh penting dari raja absolut yang narsistik dan yang memaksakan visinya pada negaranya tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.
Melawan
Apa yang dilukiskan Rigaud atas Raja Louis XIV sedikit banyak memiliki semangat yang sama dengan apa yang dikatakan Bahlil mengenai Raja Jawa. Keduanya ingin memamerkan dan menonjolkan kekuasaan mutlaknya, bisa memerintah sekehendak hati, dan seotokratis mungkin. Kalau dalam formulasi politik Actonian, power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.
Namun, Bahlil melupakan bahwa kekuasan yang absolut akan memicu gerakan perlawanan rakyat.
Absolutisme kekuasaan raja telah menyulut Revolusi Prancis 1789 dengan semboyannya yang terkenal liberte, egalite, dan fraternite (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan). Semboyan Revolusi Prancis ini menuntut reformasi penuh dari monarki absolut.
Pun dengan Indonesia. Masih segar peristiwa usai Baleg DPR sepakat mengesahkan revisi kilat UU Pilkada yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), poster ”Peringatan Darurat” dengan lambang Garuda Pancasila berlatar biru pun menggema di media sosial.
Demonstrasi besar-besaran oleh buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil terjadi di banyak kota. Hasil dari gerakan perlawanan itu adalah DPR membatalkan pengesahan revisi UU Pilkada.
Belajar dari kekisruhan politik tersebut, penguasa Indonesia dan lingkaran pendukungnya mestinya mengingat pernyataan terakhir Raja Louis XIV pada tahun 1715, ”Je m’en vais, mais l’État demeurera toujours” –”Saya pergi, tetapi negara akan tetap ada.”
Dalam konteks Indonesia, bentuknya bukanlah negara kerajaan, melainkan negara kesatuan yang berbentuk republik. (*)
*) ASRUDIN AZWAR, Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Satyagama