Oleh TIARA UCI, Alumnus Universitas Negeri Surabaya
—
Buku ini tidak ditulis dengan visi penguasa, melainkan berdasar perspektif wong cilik, sehingga lebih jujur dan sesuai dengan realitas keseharian.
DALAM pidato kenegaraan yang disampaikan pada sidang tahunan MPR untuk memperingati HUT Ke-79 Kemerdekaan Indonesia, Presiden Joko Widodo memaparkan sederet prestasinya dalam membangun infrastruktur dan memajukan perekonomian. Namun, prestasi tersebut hanya mungkin terlihat jika Anda hidup di perkotaan dan berkecimpung dalam perekonomian makro.
Kalau mau melihat lebih dalam lagi, pada masyarakat pedesaan dan pedalaman Indonesia, semua yang indah-indah hanyalah imajinasi penguasa. Pancaroba Nusantara, Sketsa-Sketsa Perubahan Lingkungan dan Masyarakat Pedalaman Indonesia adalah buku yang menawarkan perspektif berbeda tentang Indonesia.
Buku terbaru terbitan Insist Press ini tidak ditulis dengan visi penguasa, melainkan berdasar perspektif wong cilik, sehingga lebih jujur dan sesuai dengan realitas keseharian mayoritas masyarakat Indonesia yang masih hidup di pedesaan. Diolah dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia (Papua, Maluku Utara, Jambi, Jawa Timur, hingga Sulawesi Tenggara), Pancaroba Nusantara menyoroti dua isu penting. Pertama, kebijakan pemerintah pusat yang salah kaprah acap kali menjadi momok dan menyebabkan kemiskinan serta kesenjangan sosial pada masyarakat pedesaan. Kedua, kerusakan lingkungan mengubah basis ekonomi
Kebijakan Salah Kaprah Pemerintah Pusat
Proyek MIFEE (Merauke Integrated Food & Energy Estate) yang dibangun pemerintah dengan logika ekonomi makro: pola produksi besar-besaran, padat modal, dan berorientasi ekspor, nyatanya hanya menguntungkan pemodal besar dan tidak memberi dampak pada warga tempatan. Sebaliknya, warga di sekitar proyek justru kesulitan mencari makan (baca: miskin) dan mengalami bencana kelaparan (hal 26).
Proyek ”asal-asalan” ala pemerintah pusat tidak hanya terjadi di Merauke, Papua. Di Jambi, inisiatif pemerintah memberi bantuan traktor serbaguna (sistem digital) pada petani justru merepotkan warga dan berakhir mangkrak (tidak bisa digunakan). Sebab, alat berat tersebut tidak bisa melewati jalan setapak yang menjadi satu-satunya akses warga dari rumah menuju sawah.
Maksud baik pemerintah pusat untuk menolong masyarakat pedesaan dan pedalaman dengan memberikan dana bantuan langsung juga tak memberikan multiplier effect pada kesejahteraan warga. Sebaliknya, kucuran dana besar-besaran tersebut justru menyuburkan praktik suap dan melahirkan ”raja-raja” kecil di desa-desa dan kampung-kampung (hal 69).
Pemberian dana bantuan langsung adalah program yang dibuat oleh pemimpin yang memandang rakyatnya seperti pengemis: cukup diberi uang, tidak dibekali pendidikan dan keterampilan mengelola dana desa. Alhasil, alih-alih memberikan kesejahteraan pada masyarakat pedesaan, bantuan tersebut justru melebarkan kesenjangan sosial antara rakyat dan pemimpin desanya.
Sebagai ”guru keliling” sekolah rakyat yang berdinamika secara langsung dengan masyarakat grassroots selama puluhan tahun, Roem Topatimasang dan Ahmad Mahmudi mampu memotret masalah warga pedesaan dengan detail dan teliti sehingga menghasilkan karya tulis (buku) yang bisa dijadikan alarm dini deteriorasi lingkungan dan ancaman kemiskinan warga pedesaan. Jika kondisi tersebut terus diabaikan, bukan tidak mungkin cita-cita Indonesia emas berbalik arah menjadi Indonesia cemas.
Kerusakan Lingkungan dan Kemunduran Ekonomi
Sesuai dengan judulnya, Pancaroba, yang bisa diartikan peralihan atau perubahan tak menentu, buku ini secara gamblang menggambarkan masa peralihan yang terjadi di pelosok Nusantara. Sayangnya, peralihan tersebut tidak dalam konteks kemajuan, melainkan kemunduran mutu lingkungan dan sosial-ekonomi.
Pada bab yang diberi judul ”Menuju ’Kiamat’ Pulau-Pulau Kecil”, misalnya, pembaca disuguhi kisah menyedihkan warga Teluk Koa (Halut) yang mengalami guncangan kejiwaan karena tiba-tiba miskin dan kehilangan mata pencarian utamanya. Industri ekstraktif (pertambangan) yang didukung penuh pemerintah pusat dan daerah di Halmahera Utara (Halut) mencemari lautan dengan limbah yang mengandung sianida.
Akibatnya, alih-alih sejahtera, warga setempat justru mengalami kemunduran ekonomi. Warga yang dulunya bisa makan dengan hasil laut (nelayan) terpaksa berpindah ke kota-kota besar untuk menjadi buruh serabutan (hal 104).
Ironisnya, warga Halut yang putus asa sering kali dimanfaatkan oleh perusahaan tambang dengan iming-iming dana bantuan CSR (corporate social responsibility) asalkan mau mendukung pemberian izin tambang pada perusahaan. CSR yang seharusnya digunakan untuk perbaikan lingkungan justru digunakan perusahaan tambang untuk memperluas konsesi tambang yang sebelumnya sudah merusak alam dan mencemari lautan.
Kisah yang tak kalah menyedihkan terjadi di Sulawesi Tenggara (Silopo), yang generasi mudanya memilih menjadi buruh murah (kadang secara ilegal) ke Malaysia demi sesuap nasi. Sebab, desa yang mereka tinggali tak mampu lagi menciptakan lapangan pekerjaan yang memadai (hal 143).
Membaca Pancaroba Nusantara adalah membaca dinamika masyarakat pedesaan dengan segala masalahnya. Buku ini mengajak pembaca untuk memahami persoalan sosial-ekonomi secara kritis sekaligus memberi pemahaman bahwa Indonesia bukan hanya kota-kota besar di Pulau Jawa, melainkan seluruh daerah dari Sabang hingga Merauke. Karena itu, indikator kemajuan di Indonesia tidak bisa dilihat dari Jawa saja, melainkan seluruh pulau di Nusantara, termasuk daerah pedalamannya.
Setelah saya menuntaskan membaca Pancaroba Nusantara, klaim meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan menyambut HUT Ke-79 RI terlihat seperti secuil biskuit dalam kaleng kosong Khong Guan. Ada sih, tapi sedikit doang! (*)
—
Judul: Pancaroba Nusantara, Sketsa-Sketsa Perubahan Lingkungan dan Masyarakat Pedalaman Indonesia
Penulis: Roem Topatimasang, Ahmad Mahmudi
Penerbit: Insist Press
Terbit: Cetakan I, Juli 2024
Tebal: xxxxiv + 268 halaman
ISBN: 978-623-6179-22-2
*) Oleh TIARA UCI, Alumnus Universitas Negeri Surabaya