Oleh MEICKY SHOREAMANIS, Dosen Universitas Pelita Harapan, penulis buku
—
Membaca buku ini tidak hanya membawa kita pada peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Tapi juga membuat kita mencicipi dunia batin para perempuan aktivis yang multifaset.
PARTAI Rakyat Demokratik (PRD) sangat identik dengan nama ketuanya: Budiman Sudjatmiko. Nama-nama yang menyusul setelahnya adalah Petrus Haryanto, Nezar Patria, Raharja Waluya Jati, dan beberapa lainnya. Nama perempuan yang kerap muncul hanya Dita Indah Sari, tapi ini terjadi di masa yang sudah sangat lampau.
Bacaan yang mengandung kata PRD sejauh ini akan membuat kita berpikir bahwa sejarah partai ini terwakili oleh nama-nama di atas yang hampir 100 persen adalah laki-laki. Padahal, di dalam tubuh PRD ada cukup banyak perempuan yang bergerak. Meminjam istilah Eva Bande, mereka adalah perempuan aktivis, bukan aktivis perempuan yang mengawal isu perempuan semata-mata (hal 42).
Dalam buku ini, 46 perempuan aktivis PRD yang terlibat dalam penggulingan Soeharto pada 1998 berbagi kisah. Perkenalan mereka dengan dunia pergerakan bermula dari titik yang variatif.
Susanti, misalnya, mengawalinya saat membaca buku Catatan Harian Seorang Demonstran (hal 59). Sementara Isti Komah mulai tertarik sejak melihat wajah Budiman Sudjatmiko terpampang di kaus teman (hal 99).
Nor Hiqmah berefleksi tentang kehidupan kaum tertindas ketika mendengarkan lagu Doa ciptaan John Tobing (hal 189). Sedangkan Ranggoaini Jahja mengawali kiprahnya setelah berkenalan dengan beberapa aktivis PRD waktu ia melakukan riset (hal 198).
Membaca buku ini tidak hanya membawa kita pada peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Tapi juga membuat kita mencicipi dunia batin para perempuan aktivis yang multifaset.
Kompleksitas ini muncul karena beban mereka lebih banyak daripada beban laki-laki aktivis. Vidiarina bertutur bahwa perempuan aktivis memiliki beban produksi, beban reproduksi, beban kolektif, dan menanggung stigma negatif (hal 90). Kalimat ini dengan mudah kita temukan bukti-buktinya di sepanjang buku.
Pikul Beragam Beban
Pertama, beban produksi. Beban ini berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Mereka tak hanya berjuang di jalanan, tapi juga wajib mencari nafkah. Fitria Handayani di usianya yang ke-17 sudah pernah menjadi kernet angkutan serta buruh pabrik panci yang akrab dengan debu logam dan polutan lainnya (hal 45).
Kedua, beban reproduksi. Perempuan aktivis tak bisa dilepaskan dari pekerjaan yang berhubungan dengan pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga. Beban-beban ini ditanggung secara tidak proporsional oleh perempuan.
Ini antara lain dialami Rubaidah. Ia aktif mengorganisasi gerakan petani. Namun, setelah menikah, ia mematuhi perintah suaminya untuk berhenti dari PRD dan fokus mengurus rumah tangga.
Jiwa pemberontaknya kembali bergejolak saat mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ia melawan dan sebagai konsekuensinya ia diusir dan secara tak adil harus menjalani tiga proses hukum (hal 234).
Ketiga, beban kolektif. Kewajiban ini terkait dengan kelompok yang mereka perjuangkan. Para aktivis harus mengorganisasi aksi sebagai wujud dari komitmen mereka untuk melakukan perubahan struktural. Kisah tentang ini kita temukan di setiap tulisan. Ada yang mengorganisasi petani dan buruh, berjalan belasan kilometer untuk mengedarkan selebaran, bergerilya ke rumah penduduk untuk mengajak demo, dan sebagainya.
Keempat, stigma negatif.Persepsi buruk kerap melekat pada aktivis perempuan karena mereka bergerak di luar pakem sifat dan peran tradisional perempuan yang dianggap lemah lembut, submisif, dan tertib. Sefsani bercerita tentang tatapan tak enak para tetangga karena ia kerap pulang malam (hal 213).
Adapun Soraya Sultan bertutur tentang sang ayah yang yakin bahwa menikahkannya adalah solusi terbaik untuk membuat ia berhenti dari kegiatan di PRD yang dianggap khas laki-laki, yaitu berdiskusi hingga malam dan berdemonstrasi (hal 238).
Terlepas dari keempat beban di atas, para perempuan aktivis ini sangat militan. PRD memiliki program live in, yaitu hidup melebur dengan mereka yang nasibnya sedang diperjuangkan.
Mereka lalu tinggal bersama para petani atau buruh. Ernawati, misalnya, bekerja di pabrik olahan udang selama satu bulan untuk membangun basis pergerakan di Cilacap. Ia mengupas kulit belasan kilogram udang dari pagi hingga sore. Setelah semua usai, ia kembali ke Jogjakarta untuk menyusun laporan (hal 36).
Mereka juga pemberani. Nurul Qoiriah paham bahwa menjadi ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), salah satu cikal bakal PRD, berarti akrab dengan 4 B yang merupakan singkatan dari buru, bui, buang, dan bunuh (hal 174).
Ia tak mundur dan tetap mengorganisasi diskusi serta pemogokan buruh pabrik. Sebagian dari mereka mengalami kekerasan fisik saat berdemonstrasi dan juga masuk penjara.
Para perempuan aktivis ini tidak hanya memainkan peran di dalam negeri. Dita Indah Sari, misalnya, memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay (hal 13) yang kerap disebut sebagai Asia’s Nobel.
Adapun Fransisca Ria Susanti diberi tahu bahwa posisi perempuan cukup penting dalam kampanye internasional karena dunia lebih mendengarkan suara perempuan daripada laki-laki (hal 65).
Di tengah keterbatasannya dalam berbahasa Inggris, ia lantas memberanikan diri memenuhi undangan ke Australia untuk berbicara di beberapa forum internasional.
Terlepas dari kontribusi yang signifikan terhadap jatuhnya rezim Orde Baru, dokumentasi terhadap peran mereka rasanya terlewat dalam narasi sejarah reformasi Indonesia.
Syukurlah sudah semakin banyak sosok, baik akademisi, penulis, maupun aktivis, yang menggali kontribusi perempuan dalam pergerakan. Catatan sejarah memang selalu bisa diperkaya dan dunia maya kini menyediakan ruang tak terbatas bagi kita untuk melakukannya. (*)
—
Judul: Memori Perempuan: Berjuang Melawan Tiran
Penulis: Ratri Wahyu Mulyani dkk
Penerbit: Balai Pustaka
Jumlah: 345 halaman
Ukuran: 17,6 x 25 cm