KEIKHLASAN, ketegaran, dan cinta sejati menjadi napas dari kisah Endang Tri Nurniningsih, jemaah haji asal Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, yang tergabung dalam kloter 22 Embarkasi Solo (SOC 22).
Di usianya yang ke-60 tahun, Endang akhirnya menapakkan kaki di Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima. Namun, langkah itu tidak ditempuh dengan mudah. Ia datang ke Makkah dengan kursi roda, setelah kehilangan kaki kirinya akibat kecelakaan 12 tahun silam.
Kisah tragis itu terjadi pada 2013, tepat tiga bulan setelah ia dan suaminya mendaftar haji bersama. Kala itu, Endang sedang dalam perjalanan menggunakan sepeda motor untuk mengurus perizinan lembaga Kelompok Bermain (KB) ke UPT Dinas Pendidikan.
Di tengah jalan, karena ada perbaikan jembatan, ia ditabrak truk hingga kaki kirinya hancur total.
“Waktu itu saya melihat kaki saya hancur, saya lalu menghimpun kaki saya yang berserak sendiri, lalu saya foto dan saya kirimkan ke anak dan suami saya,” cerita Endang dengan penuh ketegaran saat ditemui tim MCH di Hotel Sofwat Al Sharook, Sektor 5 Wilayah Syisyah, Makkah, Senin (29/5).
Alih-alih larut dalam trauma dan duka, Endang dengan cepat mengambil keputusan besar. Ia meminta dokter untuk segera melakukan amputasi. “Saya bilang sama dokter, ‘Dok, sudah, kaki saya diamputasi saja.’” katanya mantap.
Endang menyadari bahwa menjaga semangat hidup jauh lebih penting daripada terus meratapi yang telah hilang.
“Ini sudah takdir saya. Tidak ada yang perlu disesali,” ucapnya dengan wajah tenang. Sejak diamputasi setinggi lutut, ia tetap melanjutkan aktivitas sebagai guru PAUD seperti biasa hingga akhirnya memasuki masa pensiun.
Ketangguhan Endang tak datang begitu saja. Ia mengaku mewarisi kekuatan mental dari sang ibu, yang mengajarkannya untuk menjadi perempuan yang kokoh dalam menjalani peran sebagai istri dan ibu.
“Ibu yang mengajarkan saya untuk menjadi istri yang tangguh. Karena kekuatan rumah tangga itu bergantung pada istri. Ketika istri tidak kuat, maka semua akan goyah,” tuturnya dengan penuh makna.
Dalam pelaksanaan ibadah haji ini, Endang tak sendiri. Ia berangkat bersama sang suami, Khuya’i, pensiunan pegawai tata usaha di salah satu SMA di Kabupaten Pekalongan.
Keduanya menggunakan kursi roda, terutama saat umrah dan ke Masjidil Haram. Meski Khuya’i masih bisa berjalan, ia memilih menggunakan kursi roda untuk menghemat tenaga.
“Kalau Bapak masih bisa jalan, tapi kalau umroh atau ke Masjidil Haram pakai kursi roda, karena tidak kuat berjalan kaki jauh,” kata Endang.
Khuya’i dengan telaten mendampingi istrinya, bahkan terlihat penuh perhatian saat mendorong kursi roda dari koridor hotel hingga ke kamar.
“Selama haji ini kita saling support dan membantu,” ujar Khuya’i singkat namun penuh makna.
Perjalanan ke Tanah Suci yang telah dinanti selama 13 tahun ini, menurut Endang, penuh syukur dan keharuan.
“Saya bersyukur sekali, akhirnya saya dapat kartu mahal untuk ke Tanah Suci,” ucapnya sambil menunjukkan kartu Nusuk, bukti legalitas yang memungkinkan jemaah haji masuk ke wilayah Makkah dan melaksanakan seluruh rangkaian ibadah.
Endang juga mengapresiasi pelayanan dari para petugas haji sejak dari daerah asal, embarkasi, hingga Madinah dan Makkah. “Petugasnya baik-baik, tidak ada kesulitan,” katanya.
Selama di Tanah Suci, Endang tak henti mendoakan almarhum kedua orang tuanya, anak-anak, serta kerabatnya. Meski menghadapi keterbatasan fisik, wajahnya tetap ceria dan semangatnya tak surut sedikit pun. Ia dan suaminya menjalani ibadah dengan hati lapang dan bahagia.
Ketua Sektor 5 Makkah, Fitriyanto, juga memastikan bahwa jemaah lansia dan disabilitas mendapatkan perhatian khusus. “Namun karena jumlahnya terbatas, semua petugas kami minta untuk melayani jemaah, entah itu lansia, disabilitas, ataupun jemaah lainnya,” ujarnya.
Kisah Endang dan Khuya’i menjadi pengingat bahwa ibadah haji bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang ditopang oleh kekuatan hati, kesabaran, dan cinta yang tulus. Bagi mereka, setiap langkah kursi roda bukanlah hambatan, melainkan bagian dari pengabdian. (jpc)