Cinta yang Bergunung-gunung

- Advertisement -

Kau sampai kini tak mengerti,
mengapa Tuhan mengambil suamimu di saat kau paling membutuhkannya. Namun, maut
tak mengenal kompromi.

—

MASIH butuh atau tidak, ia pongah datang menjemput. Tak peduli apa
pun. Apalagi ketika suamimu sendiri yang mendatanginya. Padahal, kau belum puas
menuntaskan marah.

Pulang merantau, ia membawa
seorang bayi mungil. Menangis di kakimu, ia memohon ampun. Ia lebih rela
menorehkan luka di hatimu daripada meninggalkan anak itu seorang diri. Ibunya,
yang telah dia nikahi 10 bulan lalu, meninggal saat melahirkannya. Tak ada
seorang pun keluarganya yang mau membesarkan.

Kau menatap mata suamimu. Tak
percaya pada kejujuran yang dia tawarkan. Bukankah dia bisa berbohong?
Mengatakan dia menemukan anak itu di hutan atau bilang kepadamu bahwa anak itu
adalah anak dari keluarganya.

Mengapa kau lebih suka ia tidak
jujur?

Seketika kau merasakan cinta yang
dulu bergunung-gunung di matamu dan bergulung-gulung di hatimu perlahan sirna.
Pengkhianatan tak bisa mudah kauterima. Kesetiaan telah kauikrarkan ketika
mantra-mantra tua dilafazkan ke langit saat kalian resmi menjadi suami istri.

Kau dipaksa menjalani hidup sebagai ibu tiri.

…

Kadang aku merasa ibu bukanlah
ibu kandungku. Bekas luka di tubuhku bercerita banyak. Setiap sedih, ibu akan
melampiaskannya padaku. Gadis itu hanya bisa terdiam di kamarnya sementara aku
dicambuki ibu.

Awalnya aku berteriak
sekencang-kencangnya. Semakin lama, aku semakin pandai menyembunyikan tangis.
Aku laki-laki. Aku tak boleh menangis, kata ibu. Laki-lakilah yang membuat
orang lain menangis.

Cintaku pada ibu telah lama
berganti benci. Memar di tubuhku mulai bersahabat dengan kulitku. Ibu selalu
memelukku dan menangis seperti tak ada hari esok setiap ia selesai. Di
saat-saat itu, aku gembira, mengira itu kali terakhir ibu mencambukku. Keesokan
harinya, aku tahu bahwa aku salah.

Gadis itu, anak bapak dari
perempuan yang lain, ia manja berlebihan. Baju-baju bagus, makanan enak, yang
didapat ibu dari panen jagung tak seberapa. Tak seberapa karena jagung itu
telah dijual saat masih muda. Dibeli murah Wak Udin, laki-laki yang menguasai
hajat hidup penduduk desa ini.

Aku tumbuh mencintai gadis itu.

Tahap berduka telah lama kau lewati.
Namun, kau tak pernah bisa berhenti memukuli Iwan setiap kali ia ceroboh.
Kesalahan kecil sekalipun. Semua kejengkelan pada hidup ingin kau tumpahkan
pada tubuhnya. Kau senang mendengarnya berteriak minta ampun. Kau merasa kuasa
ada di tanganmu. Kuasa yang dulu tidak kau miliki ketika suamimu memutuskan
bunuh diri. Kau ditinggalkannya dengan dua orang anak dan sepetak ladang jagung
yang hampir lelah berbuah.

Kau harus berjualan gorengan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untung saja Iwan mau menjajakannya
keliling kampung. Meski ia protes karena ada Lia anakmu yang perempuan, anak
dari suamimu dengan perempuan lain, lebih pantas menjajakannya. Daganganmu
pasti laku keras karena Lia sangat cantik.

Kau mencambukinya habis-habisan
karena protesnya itu, lalu mencambukinya lagi ketika ia tak berhasil membuat
daganganmu habis. Atau ketika ia lupa memungut jemuran. Atau ketika ia lambat
kembali dari mengantarkan daun woka ke rumah Wak Kadir.

Kau tak tahu harus marah kepada
siapa. Kau sungguh ingin pergi dari kampung. Meninggalkan anak-anakmu dan
memenuhi ajakan Wak Kadir bermukim di Sangihe. Laki-laki itu ingin membawamu,
dengan kedua anakmu kalau perlu. Namun, kau masih berpikir-pikir. Dua anak itu
tak lebih duri masa lalu.

Melihat mereka akan mengingatkan
pada dirimu yang tak berdaya, pada suami yang tak menghargai kesetiaan, pada
kemelaratan yang berupaya kau akrabi. Pada Tuhan yang tak mengasihanimu. Pada
Wak Udin yang suka menyelinap masuk ke kamarmu ketika anak-anakmu berada di
sekolah. Pada dirimu yang tak bisa menolak ketika ia menyelinap masuk ke
kamarmu. Pada istri Wak Udin yang selalu memamerkan perhiasannya setiap kali ia
berada di pesta. Pada utang-utangmu yang semakin menumpuk meski kau bayar
dengan tubuhmu. Wak Udin tak akan memberimu benih jagung jika kau menolak
ajakannya menyetubuhimu.

Setiap laki-laki itu berada di
atas tubuhmu, kau berusaha kembali ke masa lalu. Masa kecil ketika kau
berlarian di ladang jagung, bermain cur-pal1,
sembunyi dari teman-temanmu. Selesai bermain, kau akan pulang ke rumah,
berpeluh dan disambut dengan semangkuk ikan woku dan tumis kangkung di meja.
Setiap akhir bulan, bambua2 berteriak nyaring memenuhi jalanan dan tak lama
perkedel nike hadir memeriahkan meja makan. Dengan mengingat itu semua, kau tak
akan merasa sakit ketika selangkanganmu dimasuki.

Awalnya seringai lebar lelaki itu selalu ingin membuatmu muntah,
semakin membenci laki-laki. Namun, hidupmu tergantung pada belas kasihnya.

…

Aku tak pernah suka Wak Udin.
Laki-laki itu pengijon desa yang luar biasa kikir. Pernah sekali, anak buahnya
mendatangi sekolah kami, meminta kunci motor Ical dengan bengis. Wak Kali,
ayahnya, sudah terlambat membayar cicilan motor tiga kali.

Di desa kami tidak ada lembaga
kredit resmi. Semua barang elektronik dan kendaraan bermotor kami cicil dari
istri Wak Udin. Perempuan itulah yang membayar semua barang itu di kota, lalu
mengkreditkannya kepada kami. Kami membayarnya dengan apa pun yang bisa
dihasilkan tanah dan ladang kami. Berlipat-lipat dari yang seharusnya kami
berikan.

Suatu hari, ingin sekali aku
memerkosa anak gadis Wak Udin jika tidak ingat kebaikan laki-laki itu kepada
ibu. Lisa mengata-ngatai Lia anak haram. Aku tahu Lisa hanya iri. Pada
kecantikan dan kepintaran Lia. Lia selalu membuatnya berada di peringkat kedua.
Bukankah manusia selalu menggunakan mulutnya ketika otaknya tak mampu bekerja
dengan baik? Begitu yang selalu dibilang ibu, selain jaga sikaplah kepada Wak
Udin. Keluarga kita tidak akan bisa makan kalau bukan karena pertolongannya.
Itu bukan pertolongan, Bu, tapi pemerasan. Aku berakhir mencium tanah dengan
keras.

Pernah suatu pagi, ketika bolos
sekolah karena pelajaran yang sangat membosankan, aku melihat istri Wak Udin
mendatangi ibu. Rambutnya awut-awutan dan menyerapahi ibu. Penggoda suami
orang. Tak bakal masuk surga. Aku tak tahu suami siapa yang ia maksud karena
aku tak pernah melihat laki-laki lain selain bapak di rumah. Sama tak tahunya
aku mengapa orang begitu yakin seseorang pantas masuk surga atau tidak
seolah-olah merekalah yang paling berhak menentukan.

Tak mungkin Wak Udin, meskipun laki-laki itu baik pada kami, ibu sangat
membencinya. Ia memang tak pernah menjelaskan alasannya, tapi aku rasa itu ada
kaitannya dengan kematian bapak dan juga ladang jagung kami.

…

Kau melihat pertikaian itu. Udin
dan suamimu berdiri dan menantang satu sama lain. Mereka masih muda. Satu dari
mereka adalah laki-laki yang kau cintai dan laki-laki lainnya mencintaimu. Pada
akhirnya kau memilih Aris, laki-laki yang kau cintai. Kau pernah melihat Udin
memukuli pacarnya di kelas I SMP. Setelah itu kau bersumpah bahwa ketika tak
ada lagi laki-laki di muka bumi dan yang tersisa hanya Udin, kau akan memilih
mati. Kau sesumbar pada teman-temanmu. Sesumbar yang akhirnya didengar Udin.

Padahal, ada alasan lain. Kau tak
suka orang tuanya yang sering menghina ayah dan ibumu. Kau tak akan mau
bermertua laki-laki seperti itu. Kau bahkan yakin orang tuamu juga tak sudi
berbesan dengan mereka.

Sebelum kau kawin lari dengan
Aris, ibumu memohon untuk mempertimbangkan lamaran Udin.

“Kau tak akan susah lagi seperti
kami, Nak.”

“Ma, kuat bapukul dia itu3.”

“Tak penting itu, Nak. Yang
penting ia bisa menafkahimu. Kau bisa membeli baju sepuasnya. Tidakkah kau
lelah hidup miskin?”

“Saya tak tahu mana yang lebih
baik, Ma. Tapi, sepertinya saya memilih hidup miskin daripada dipukul
terus-terusan.”

“Mereka menawarkan 1 hektare
ladang jagung, Nak.”

“Ma, Mama tidak sakit hati?
Bukannya mereka sering menghina kita, Ma. Kenapa mereka tidak meyukai kita,
Ma?”

“….”

“Gina pernah cerita kalau mereka
membenci orang miskin, Ma. Katanya, orang-orang miskin seperti kita hanya
sia-sia hidup. Lebih baik kita bunuh diri saja agar dunia ini jadi lebih
lapang.”

Kau melihat ibumu menarik napas. Hidup miskin terlalu lama menjadikan
telinganya kebal dan hatinya tak lagi mampu bersedih. Bagaimana kau bisa
mendengarkan semua komentar buruk ketika kepalamu sibuk memikirkan besok kalian
tetap makan atau tidak?

…

Maafkan aku Lia, ini satu-satunya
cara. Aku mencintaimu, tapi ternyata itu tak mampu menghentikan keinginanku melahap
tubuhmu. Aku tak rela bangkot tua itu yang mendapatkanmu. Akulah satu-satunya
yang pantas. Satu-satunya laki-laki yang selalu melindungimu. Aku marah ketika
tahu ibu mempersiapkanmu untuk Wak Udin. Pantas saja ia merawatmu dengan sangat
baik. Wak Udin ingin menjadikanmu istri. Tahukah kau Lia, aku pernah berpikir
untuk membunuh laki-laki itu, tapi aku terlalu pengecut. (*)

(Penulis lahir di Bone, Sulawesi
Selatan, kini tinggal di Gorontalo. Menulis cerpen dan esai. Salah satu
emerging writers dalam Ubud Writers and Readers Festival 2018)

Catatan :

cur-pal: permainan petak
umpet

bambua: alat dari bambu yang
dibunyikan pedagang ikan keliling di Gorontalo

kuat bapukul dia itu: Dia
kuat memukul (bahasa Melayu Manado yang banyak dipakai masyarakat di Gorontalo)

 

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments