Puasa Adalah Pesta, Betul?

- Advertisement -

”Intinya, pengendalian diri!” Begitu penegasan KH Zainuddin MZ tentang puasa di ceramah-ceramahnya yang melegenda, yang pernah menjadi sangat terkenal karena dipinjam sebagai tagline sebuah iklan minuman berenergi di tahun ’90-an. Dan saya rasa tak ada yang tak menyepakatinya, entah yang alim maupun yang awam.

KARENA itu, puasa berasosiasi dengan ”sabar”, dihubungkan dengan ”kesetiakawanan sosial”, dan disebut dalam satu tarikan napas dengan ”muhasabah/introspeksi”. Di sebagian besar masyarakat Jawa, kata ”pasa” dipertukarkan secara longgar dengan ”tarak/tirakat”, yang artinya berpantang. Sementara, seingat saya, pengertian saum (puasa) yang diajarkan guru fikih kami di madrasah ibtidaiyah juga kurang lebih demikian.

Tapi kita juga tahu, pengertian dan asosiasi tersebut adalah –meminjam tagline iklan legendaris yang lain– ”teori”. Penjelasan tersebut, entah dari ceramah Zainuddin MZ atau dari dai lain, atau dari buku ajar di madrasah, atau bahkan dari kitab suci, adalah sesuatu yang diidealkan, sesuatu yang ”seharusnya” dilakukan, hal yang ”semestinya” dicapai. Apakah ia ”telah” dilakukan dan ”sudah” dicapai, itu adalah persoalan berbeda.

Dan kenapa ia terus diceramahkan? Sebab, pada kenyataannya, sebagaimana semua hal yang diidealkan, lebih-lebih berkait agama, ia sulit dicapai. Ia sama sulitnya dengan salat khusyuk, sedekah ikhlas, haji mabrur, dst.

Dalam kepala penulis fiksi macam saya, puasa adalah sejenis karakter yang oleh pengarang ingin dibentuk sebagai A sebelum ditulis, namun berakhir menjadi B atau E atau bahkan Z ketika cerita itu selesai; bukan hanya tidak sama dengan yang pada awalnya diinginkan, tapi boleh jadi malah memunggunginya sama sekali.

***

Pada awal bulan ini (1/4), hanya selang beberapa hari sebelum puasa dimulai, Rhoma Irama dan band Ungu, lewat saluran YouTube resmi Trinity Optima Production, meluncurkan sebuah klip video lagu campur aduk (mash-up) antara lagu La Ilaha Illallah-nya Soneta dengan Andai Kutahu dari Ungu.

Trinity, dalam keterangan di bawah video, menyebut rilisan ini sebagai kolaborasi dua lagu religi –istilah yang seingat saya tak pernah dipakai Rhoma berkait musiknya sendiri. Lebih lanjut, mereka mengharapkan lagu kolaborasi ini dapat ”menemani hari-hari Anda di bulan Ramadan”.

Keterangan lengkap di bawah video itu cukup panjang, lebih dari 300-an kata, dan sebenarnya sudah akan memadai jika diringkas dalam satu kalimat persuasif sebagaimana kebanyakan video di YouTube: ”Tonton, jangan lupa subscribed!” Tapi, dalam hemat saya, ”menemani hari-hari Anda di bulan Ramadan” tampaknya memang menjelaskan lebih banyak hal, khususnya soal bagaimana puasa dipersepsikan.

Jika di tataran ideal puasa diasosiasikan dengan sabar, setia kawan, atau introspeksi, di level pelaksanaan puasa tampaknya berendengan dengan rasa berat, susah, bosan, sepi, tak banyak aktivitas, atau hal-hal semacam itu. Itu membuat ada pihak yang berpikir bahwa orang berpuasa butuh ditemani, dihibur, diberi imbalan, disenangkan, dst. Dari situlah kiranya, ketika tiba akhirnya puasa, perusahaan rekaman seperti Trinity punya tawaran lagu atau album baru untuk menemani dan menghibur.

Dan produsen sirup menawarkan rasa dan kemasan botol baru; penyedia jasa internet menawarkan paket layanan baru; mal-mal menjanjikan harga diskon besar-besaran; pasta gigi halal dengan cita rasa buah entah apa dari Korea diperkenalkan; sebuah produk kopi sasetan menawarkan umrah gratis bersama seorang dai kondang yang pandai berpantun; kontes dai cilik dengan juri terdiri atas ustad-ustadah kesayangan Anda dimulai lagi; Raffi Ahmad dan Soimah punya acara komedi jelang sahur baru yang dijamin lebih lucu dan lebih seru; dan Deddy Mizwar terus memperpanjang Para Pencari Tuhan hingga season ke-15. Dan seterusnya…

Dan, kira-kira dari sinilah, kurang lebih dalam 10 tahun terakhir, hal yang paling identik dengan bulan puasa di Indonesia, uniknya, justru sebuah produk minuman.

***

Dalam puasa paling ideal yang ada di kepala saya, bukan hanya kita semua bisa lebih mengendalikan diri, lebih sabar, dan pada akhirnya lebih bertakwa, tapi juga membuat pasar-pasar lebih sepi, mal tutup, jalan raya lebih lengang, orang-orang ke kantor untuk kerja secukupnya atau menjadi lebih santai, dapur di rumah berkurang aktivitasnya, meja makan menyusut menunya, dan anak-anak sudah cukup bergembira karena telah melewati puasa pertamanya, sementara para orang tua lega karena bisa memenuhi target tadarusannya.

Tapi tentu saja itu puasa yang tak pernah ada. Bukan hanya tak mungkin terjadi; seseorang yang mengupayakannya juga tak akan dibiarkan melakukannya.

Sebab, pada kenyataannya, puasa adalah saat pasar sedang ramai-ramainya, jalan raya macet total, dan mal menambah jam bukanya; para buruh bekerja lebih keras dari biasanya (bukan karena mereka menelan nasihat para dai bahwa puasa tak boleh menghalangi semangat kerja, melainkan karena mereka mesti memastikan baju Lebaran untuk anak-anaknya tidak lebih buruk dari anak tetangga, atau tiket mudik dan oleh-oleh untuk keluarga di kampung sudah tersedia bujetnya); ibu-ibu jauh lebih sibuk di dapur dari hari-hari biasa, karena mereka bukan hanya memasak lebih banyak dan lebih istimewa dibanding hari-hari biasa, tapi juga mesti memutar uang belanja lebih lihai karena semua harga bahan pokok naik.

Puasa, suka atau tidak, ideal atau tidak, pada akhirnya adalah Pasar, adalah Pesta (dua-duanya dengan P besar). Tapi itu bahkan belum yang terburuk: di pasar itu, sebagian besar kita hanyalah konsumen; di pesta itu, kita adalah undangan yang hanya bisa ambil bagian jika membawa amplop dengan isi sangat tebal.

Dalam pasar yang kita adalah konsumen, dan di pesta yang bukan milik kita, alih-alih melakukan pengendalian diri seperti yang ditekankan KH Zainuddin MZ, kita sepenuhnya dikendalikan.

Betul? (*)

*) MAHFUD IKHWAN, Novelis, pendengar KH Zainuddin MZ

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments