Konten dari halaman ini Wajah, Bukan Tubuh - Prokalteng

Wajah, Bukan Tubuh

- Advertisement -

Oleh APRINUS SALAM

Cobalah sekali-sekali kita melihat adegan esek-esek orang Indonesia di berbagai media. Saya perlu menambahkan frasa orang Indonesia karena tidak tahu persis yang tidak Indonesia bagaimana karena tampaknya berbeda.

DALAM adegan itu, memang tidak semua, terlihatlah adegan bagaimana para aktor (terutama yang perempuan) masih berusaha menyembunyikan wajahnya, tetapi dengan tenang membiarkan payudara dan kemaluannya terlihat dengan jelas. Atau lihat jika ada pesakitan seperti koruptor atau pelaku kejahatan lain kalau digelandang, biasanya ada upaya dari pesakitan itu menutupi wajah.

Hal penting dari kejadian itu adalah adanya sikap dan ”kepercayaan” untuk memisahkan antara wajah dan (bagian) tubuh. Tidak ada yang persis sama di antara manusia, semua berbeda. Akan tetapi, perbedaan wajah bisa dikenali dan perbedaan tubuh tidak bisa dikenali. Artinya, ketika para aktor memperlihatkan (bagian) tubuhnya, tidak ada yang tahu itu kemaluan atau payudara siapa. Di luar pemeriksaan medis dan ilmiah, (bagian) tubuh baru dikenali jika wajahnya diperlihatkan. Dalam konteks ini, dibandingkan wajah, tubuh menjadi sesuatu yang tidak beridentitas dan tidak penting.

Di dalam wajah ada bagian tubuh, seperti hidung, pipi, mulut, kening, dan sebagainya. Namun, bagian tubuh wajah itu juga tidak dikenali jika yang dilihat hanya bibir, atau pipi saja, dll. Wajah baru dikenali jika bagian muka depan tubuh itu diperlihatkan secara keseluruhan. Dengan demikian, wajah adalah rangkaian keseluruhan penanda dan petanda yang menjadikan (bagian) tubuh tersebut menjadi sosok yang dikenali.

Dari segi kesehatan dan medis, tentu kondisi tubuh sangat penting. Namun, wajah menempatkan posisi tersendiri yang bebas dari tubuh untuk diperhatikan. Upaya mempercantik dan menampankan diri bisa bebas dari bentuk dan keberadaan tubuh. Kemudian, muncul pernyataan, tubuh laki-laki itu berotot, sayang tidak tampan. Atau, perempuan itu seksi, tapi sayangnya dia tidak cantik. Hingga kemungkinan jauh yang dibayangkan, ketika manusia berhubungan tubuh, nilai wajah menjadi penting. Manusia tidak hanya menggauli tubuh, namun pemandangan terhadap wajah yang melengkapi persetubuhan.

Memang, karena seperti terpisah, terdapat persaingan untuk memberi perhatian terhadap wajah dan tubuh. Berbagai upaya dilaksanakan untuk menjaga penampilannya. Perhatian terhadap tubuh terutama terdapat pada kesehatan, kebersihan, dan kemungkinan memutihkan kulit. Sayangnya, secara umum banyak orang Indonesia kurang suka berolahraga sehingga perhatian terhadap tubuh kadang juga kurang maksimal. Perhatian terhadap wajah lebih banyak daripada tubuh, dan lebih menghabiskan waktu dan biaya.

Perbedaan lain, pusat ekspresi ada pada wajah, bukan pada tubuh. Semua kondisi dan kelengkapan tubuh terhubung dengan wajah. Kita menjadi tahu kapan seseorang marah, sedih, gembira, justru dari raut wajah. Artinya, tubuh menjadikan wajah sebagai pusat laporan, apakah dalam kondisi sakit, sehat, sedih, atau gembira. Sangat mungkin terdapat pernyataan verbal seseorang bahwa dia tidak sedih. Akan tetapi, yang dipercaya bukan pernyataannya, tetapi justru ekspresi wajah. Dengan demikian, tubuh bukan lokus ekspresi dan penanda. Pernyataan verbal bisa berbohong (tidak sesuai dengan kenyataan), tetapi wajah tidak bisa berbohong.

Hal indrawi terdapat di sekitar atau yang menjadi bagian dari wajah. Mata, hidung, mulut, telinga adalah hal bagian tubuh yang tetap hanya menjadi bagian jika tidak terintegrasi menjadi wajah. Dalam hal ini, perlu dibedakan, sebagai misal, mata sebagai bagian tubuh yang menjadi wajah, dan mata sebagai penglihatan. Hidung hanya menjadi bagian tubuh yang menjadi wajah, tetapi juga menjadi media penciuman. Demikian pula terhadap mulut dan telinga.

Namun, sebagai hal yang terletak di sekitar dan menjadi wajah; penglihatan, penciuman, pendengaran, dan pengecapan, itu bukan wajah. Persoalannya, kalau kita mencoba mengingat seseorang, jika tidak ada hal khusus pada tubuh, yang menjadi mediasi ingatan dan identitas adalah wajah. Seperti telah disinggung, tubuh tidak bisa dikenali, tetapi wajah menjadi ikon seseorang untuk dikenali dan dimemori. Tentu, dalam posisi lebih jauh, wajah bukan sekadar hal ikonik, tetapi juga menjadi hal-hal yang bersifat indeksial (berbagai ekspresi), dan sesuatu yang simbolik.

Sebagai sesuatu yang ikonik, relasi penanda dan petanda jarang diperdebatkan. Sebagai hal indeksial, relasi penanda dan petanda bergantung situasi dan kondisi (konteks) bagaimana wajah dilihat dan ditempatkan sebagai peristiwa yang berbeda-beda. Kita tahu, begitu banyak hal yang berubah sehingga relasi indeksial juga berubah. Sebagai hal simbolik, wajah menjadi kesepakatan sosial dan kultural masyarakatnya sebagai konstruksi yang arbitrer. Kalau kesadaran arbitrer itu tidak terbangun, tidak jarang terjadi pertengkaran.

Penjelasan ringkas itu ingin mengatakan bahwa sebenarnya wajah adalah suatu ”nilai abstrak, imajinatif, rohaniah” yang nontubuh (nonfisik). Pada dasarnya, kita memang mengelola bagian tubuh, tetapi di atas itu, kita mengelola wajah agar tampak tampan dan cantik. Artinya, perjuangan membuat wajah cantik dan tampan adalah perjuangan nilai yang tidak bersifat tubuh (ragawi) semata. Akan tetapi, lebih dari itu kita sedang memperjuangkan keindahan (dan kebajikan).

Masalahnya, arus dominan tatanan simbolik dan kebudayaan menggiring kita pada tubuh, dan menempatkan wajah sebagai bagian dari tubuh. Artinya, praktik hidup dan kebudayaan kita adalah budaya fisik atau bendawi. Dalam berbagai cara, kita berusaha mengindahkan tubuh (bukan wajah sebagai nilai). Padahal, tubuh tidak dikenali. Jadi, kita sedang dalam arus menjalani hidup yang tidak dikenali, jika tubuh tidak disenyawakan dengan wajah sebagai nilai. (*)

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments