Konten dari halaman ini dayak molek

Dayak Molek

- Advertisement -

Dayak Molek

Lelaki yang membayangkan umbut pakis, hijau pandan hutan,

sulur bajakah bunting, tembilung, dan tiga unting lagu

gunung,

masih juga belum tertidur.

Ia memejamkan mata tentu saja, sebab di sana, segala yang

ia bayangkan tumbuh

akan hidup.

Ia ingin semua lebih hidup ketimbang hidupnya.

Namun tidak, sebab setiap seratus enam puluh tujuh detik, atau sedikit

lebih banyak, atau sedikit lebih sedikit, ia akan membuka mata

dan ia lihat si perempuan.

Wajah si perempuan yang terpejam dan tertempias lampu teras

yang menyelusup melalui angin-angin kamar.

Begitu damai.

Mereka bertemu dua belas tahun lalu

di dekat Stasiun Wonokromo yang ribut.

’’Hai,’’ lelaki itu menyapa.

’’Hai,’’ perempuan itu menyambut.

Lantas takdir mengulur panjang

dan beberapa bulan kemudian, si perempuan berkata,

’’Aku ingin pulang.’’

’’Aku ikut,’’ kata si lelaki. ’’Ke mana pun kau pergi

aku ikut.’’

Dan begitulah mereka berangkat pada suatu Sabtu subuh

dari Tanjung Perak.

Di dalam lambung kapal, si lelaki membayangkan

umbut pakis, hijau pandan hutan,

sulur bajakah bunting, tembilung, dan tiga unting lagu

gunung. Segala yang eksotis dari sebuah kampung Dayak.

Dan si perempuan berkata, ’’jangan pernah kau berbuat serong,

sebab di kampungku, para leluhur telah mengguyur kutuk.

Dan kau tidak akan bisa hidup dengan kelamin terayun-ayun

di keningmu. Bayangkan!’’

Tapi bagaimanapun, si lelaki hanya membayangkan

umbut pakis, hijau pandan hutan,

sulur bajakah bunting, tembilung, dan tiga unting lagu

gunung. Segala yang indah di imajinasi seorang pendatang.

Dan si lelaki, kini, mencoba membayangkan itu semua, masih

membayangkannya.

Namun tiap ia membuka mata, ia lihat paras perempuan itu,

dan ia terkenang empat hari kemarin, sewaktu ia buntuti

si perempuan yang menyelinap ke wisma ulin bersama

seorang lelaki entah siapa.

Dan ia menunggu kutuk itu bekerja.

Namun tak ada apa-apa.

Tak ada apa-apa

selain ia yang terus membayangkan

umbut pakis, hijau pandan hutan,

sulur bajakah bunting, tembilung, dan tiga unting lagu

gunung. Apa-apa yang membikin damai orang kota.

Dan berusaha yakin bahwa semua baik-baik belaka.

Di Palaran

Ada memang yang bilang, di Palaran, semua terbuat dari debu.

Seorang daeng di kedai Acil Niah, misalnya. Yang seperti pendongeng,

yang berkata bahwa gedung-gedung dibangun sepanjang siang

dan angin malam meruntuhkannya. Atau bangunan-bangunan terbit

bersama fajar dan luruh pelan-pelan seiring tamatnya hari.

’’Kenakan masker, Bung,’’ katanya. ’’Kenakan masker atau debu

akan menyusup ke paru-parumu. Dan begitu saja kau luluh dan

lenyap sebelum kau menyadarinya.’’

’’Tak ada melankolia di sana,’’ katanya lagi. ’’Tak ada puisi cinta

bisa lahir di sana.’’

Mungkin benar, mungkin pula tidak.

Tapi memang ada satu perempuan

berjalan di Palaran, di antara gulungan debu tanpa

masker, tanpa kacamata,

dan ia menangis.

Dan seperti bunyi sebuah sajak lama, ia ingin

tak ada yang bertanya kenapa.

DADANG ARI MURTONO

Lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Karyanya, Sapi dan Hantu, juara III Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2021. Saat ini tinggal di Samarinda dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments