Konten dari halaman ini Tung Piong

Tung Piong

- Advertisement -

Oleh ELVAN DE PORRES

Dia pulang dari pesta pernikahan itu dengan kondisi setengah mabuk. Berjalan kaki. Tembakau gulung di tangan. Mata sedikit kunang-kunang.

CEKIK atau tikam?” seseorang yang mengawasinya bertanya ke temannya. ”Gorok? Baik.”

Tiba-tiba pisau tuak terhunus dan mengiris secepat angin. Darah muncrat dari leher. Mata putih lelaki itu membelalak. Dia jatuh bedebum ke tanah.

”Sudah selesai?”

”Belum.”

”Terus?”

”Tunggu sampai tana pu’an datang.”

***

Pesta itu ramai sekali. Anak lelaki polisi Minggus menikahi putri sulung camat Weko. Biaya acara tiga ratus juta. Daging tumpah ruah. Arak bergelimangan seolah seseorang telah membuat mukjizat; mengubah air menjadi arak.

”Saya pulang duluan,” kata lelaki itu.

”Sudah mabuk kah Oom Tobias?” tanya seorang pemuda.

”Besok masih ada urusan.”

Takut minum dengan kami? Di sini tidak ada racun,” sergah pemuda lainnya.

Dia bangkit berdiri, meninggalkan para pemuda yang terus menggerutu dan suara-suara yang tak lagi dikenalinya. Lampu kilat seperti pub Flamboyan menghantam dari bubungan tenda besi. Musik menggempar bumi. Suara dan wajah manusia tampak samar-samar.

Istrinya telah berpesan agar dia harus pulang sebelum angkot pasar membelah kampung. Esok pagi-pagi sekali, mereka hendak ikut tung piong di kampung sebelah di dekat kaki gunung. Tadi keduanya sempat bertengkar. Antoneta Wisang, istrinya itu, menyarankan suaminya agar menghindari pesta. Namun, lelaki itu mengelak dan mengatakan hendak tunjuk muka ke orang-orang kampung.

”Kalau saya maju kepala desa, inilah salah satu caranya,” ketusnya.

Istrinya bersungut-sungut kecil dari dalam bilik. Lelaki itu merasa perempuan itu memakinya. Dan dia mengeluarkan makian yang paling kejam dan suaranya sebesar lolong anjing. Dia seperti hendak menyayat gendang telinga istrinya. Antoneta pun menangis, dan sambil terisak berpesan bahwa lelaki itu dapat pergi asalkan pulang duluan.

Sejak masuk pesta hingga sepanjang jalan pulang itulah dia berusaha melupakan perselisihan tersebut. Tetapi wajah istrinya yang lusuh dengan mata bengkak terus saja terbayang. Arak kampung tak membuat pikirannya tenang. Jalanan gelap semakin menambah perasaan kalut.

Itu terjadi sebelum tenggorokannya berderit. Sebuah serangan kilat yang mencuri kesadarannya, dan memutuskan secara total seluruh ingatannya. Dia kini menumbuk tanah lantas merembeskan darah ke tanah.

***

”Kau bukan orang yang lahir di kampung ini,” Antoneta Wisang berkata ke suaminya. Keduanya berseloroh di belakang rumah, mengobrol seperti rapat partai, seminggu sebelum tung piong di kampung besar.

”Saya akan mengalahkan keluarga tuan tanah,” ucap lelaki itu.

Dia tahu, istrinya sejak awal menolak rencananya. Perempuan itu memegang teguh adat leluhur. Itu bertentangan dengan ilmu yang dia dapatkan waktu di seminari –saat misionaris Belanda masih mengajar dan kerap mencela penduduk yang menggemari urusan mistis. Namun, dia bukan lagi calon pastor Katolik dan telah terbebas dari kaul. Bagaimanapun dia membutuhkan pertimbangan istrinya.

”Kau harus pergi ke lepo gete dulu,” tutur Antoneta.

”Ritus itu membuang-buang waktu,” lelaki itu menghardik.

”Kita datang untuk meminta restu.”

”Saya tidak butuh restu, tetapi surat suara.”

Keduanya mulai berdebat. Istrinya kerap berceloteh seperti burung hantu, dan lelaki itu menjadi cepat tersinggung ibarat hantu sungguhan. Perkataan perempuan itu salah semua di hadapan lelaki yang bicaranya rumit.

”Sebaiknya kau bekerja menjadi guru agama,” saran istrinya suatu ketika.

”Kauanggap remeh saya?”

”Kau tetap bersikeras maju kepala desa?”

”Itu panggilan ilahiah. Saya akan menjadi pejuang masyarakat.”

Dan kabar pencalonan kepala desa itu menyebar bagai wabah meski tidak membikin riuh. Orang-orang di kampung menghindari bicara politik dan lebih menyukai judi ayam. Itu tabu yang mesti mereka tutup rapat-rapat. Trah tuan tanah tidaklah boleh diganggu, bahkan setelah republik berdiri dan pemilihan umum diperkenalkan di mana-mana.

***

Menuruni tangga gereja, lelaki itu meninggalkan percakapan serius di mata pastor paroki. Dia telah datang untuk meminta dua nasihat. Satu untuk urusan tung piong yang membikin utangnya bengkak, dan satunya lagi, pencalonan kepala desa. Dia rupanya khawatir upacara di kampung besar itu berakhir nestapa sebab tak punya timbal balik untuk dirinya.

Dia mengharapkan dukungan suara. Tetapi setelah desa mekar keluarga besar istrinya tinggal berpisahan. Di hadapan pastor dia mengulang-ulang terus pertanyaan sengit ke istrinya; kenapa perempuan itu mendapatkan warisan tanah di batas kampung.

Pastor cuma mendengarkan keluh kesah tanpa ujung itu. Sesekali ia memelototi wajah lelaki tersebut, berharap tengkuknya aman demi memastikan kenormalan. Di paroki sudah ada banyak umat yang gila karena urusan tak jelas. Maka, setelah lelaki itu bicara, pastor menyuruhnya pulang dan menyarankan doa Novena.

Kembali ke rumahnya lelaki itu sekali lagi mengajak istrinya bercakap-cakap. Dia mengambil sebuah buku catatan dan menuliskan nama-nama. ”Hanya kau yang saya harapkan. Sebutkan orang kampung yang kaukenal?”

”Di sini kita tahu semua,” istrinya menyahut dengan tatapan aneh.

”Bukan! Tapi mereka yang mendukung saya?”

Istrinya menahan deru napas. Antoneta merasa tengah berbicara dengan batu. Kau bisa cari tahu sendiri, balasnya, berhati-hati agar batu itu tidak berubah menjadi hantu.

Lelaki itu pergi menemui ketua KUB. Dia berharap mendapatkan pencerahan di rumah ketua KUB setelah usaha sebelumnya gagal. Sejak tinggal di kampung dia memang langsung akrab dengan ketua KUB itu, seorang duda tua peternak babi. Mereka sering berdiskusi filsafat hingga perkembangan teknologi. Kadang-kadang setelah doa kontas, mereka berbincang dengan menaikkan pita suara, sembari melihat-lihat ke umat gabungan yang duduk memamah sirih pinang.

”Saya angkat tangan,” ketua KUB berkata iba.

”Bapak sama saja dengan istri saya dan pastor Matias,” rutuk lelaki itu.

”Itu urusan berat.”

”Kampung kita butuh orang berpendidikan.”

”Pulang saja! Saya tidak mau membuat masalah!”

Di jalan pulang –membawa rasa kesal sebagaimana dari paroki– lelaki itu mengeluarkan sumpah serapah. Dia menyebutkan berbagai binatang, menyelipkan di antara nama istrinya, pastor Matias, dan ketua KUB. Bagaimanapun dia ingin menjadi pejuang masyarakat. Dia akan membuktikan ke mereka kalau niatnya panggilan ilahiah. Dia menunggu waktu yang tepat.

***

Pagi hari menjelang pesta pernikahan anak polisi Minggus, lelaki itu dibangunkan oleh istrinya. Semalam dia masuk rumah, entah dari mana dan pukul berapa, dengan tubuh berlumuran bau arak. Dia meringkuk di atas dipan di belakang dapur.

Baru setelah panggilan kesebelas dan guncangan tubuh ketujuh dia terbangun. Kelopak matanya hitam. Rambut tipisnya acak-acakan. Istrinya menyodorkan gelas air hangat, setelah itu melanjutkan menyimpan barang-barang.

”Berapa lama kita di sana?” lelaki itu berpaling ke istrinya.

”Hanya satu hari.”

”Berarti langsung pulang?”

”Kita tidur di lepo gete,” istrinya membalas

Dia ingin memprotes, tetapi kepalanya kelewat pengar. Semalam dia minum banyak sekali ibarat kuda tua yang haus tiga hari. Tetapi kenapa dia bertanya begitu, pikirnya. Bukankah dia sebaiknya diam saja pada urusan yang tak dikehendakinya itu. ”Sebentar saya pergi ke pesta,” katanya dalam nada rendah, mengalihkan pembicaraan.

Rumah menjadi senyap setelahnya. Istrinya yang justru mengancing mulut erat-erat. Dan lelaki itu menunggu tanggapannya, tetapi perempuan itu menyibukkan diri dengan berbagai perkakas. Itu berlangsung hingga petang mengetuk sebelum bunyi musik dari pertigaan jalan besar terdengar mencabik-cabik langit.

”Bukannya tadi malam kau masuk acara?” Antoneta membuka suara setelah keheningan panjang yang rasanya tiga musim bawang.

”Saya kumpul dengan ana-ana di kios ujung kampung.”

”Kau tidak jalan pegang tangan duluan?”

”Kita bukan tama benu, hanya undangan.”

Antoneta terus mengajukan pertanyaan macam-macam dan lelaki itu mengeluarkan jawaban macam-macam. Setelah pita suaranya letih, perempuan itu menyampaikan maksud sesungguhnya. Kau tidak usah pergi ke pernikahan itu, katanya. Tanpa peduli suaminya terserang darah tinggi dan berkemungkinan menjadi hantu.

Rumah seakan jadi bahtera pecah. Lelaki itu benar-benar menjadi hantu meski tidak darah tinggi. Dia tidak hanya menyampaikan alasan pergi ke pesta, tetapi mulai merunut tagihan koperasi untuk adat keluarga istrinya.

Dari kematian nene Lirong, sambut baru ponakan Nuel, pengatapan rumah di kampung besar, pendinginan saudara jauh habis kecelakaan, pelepasan paman pergi merantau, penyambutan bibi pulang merantau, hingga tetek bengek lainnya yang kalau disebutkan bakal membuat lidahnya cabut. Kemudian, dia keluar dari rumah itu, setelah memaki-maki, untuk mengamalkan niatnya.

Mungkin dia harus lebih berhati-hati dengan mulutnya sendiri. Mungkin makiannya itu membawanya pada nasib nahas. Lelaki itu tidak lagi pulang semenjak meninggalkan rumah. Dia ditemukan mati di hutan larangan dengan luka keratan pada batang leher, pagi hari tepat sebelum tung piong berlangsung. (*)

Maumere, 2023

Keterangan:

  1. Tana pu’an: penggarap tanah awal, tuan tanah
  2. Tung piong: ritus memberi makan arwah leluhur
  3. Lepo gete: rumah besar, rumah adat suku
  4. KUB: Kelompok Umat Basis, persekutuan doa terkecil dalam lingkup gereja Katolik
  5. Tama benu: kumpul keluarga besar sebelum hari acara/pesta

ELVAN DE PORRES, Lahir di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments