Wakil I Galuh Tanbu :

Lebih Banyak Orang Ngomong Daripada Mendengar

- Advertisement -

LEWAT sambungan telepon selama 18 menit, Rizqa Nailah Nahdah menjelaskan kepribadian dan kegiatannya dengan lugas.

Nai, sapaannya, tinggal di Batulicin. Usianya sekarang 24 tahun.

Nai mengikuti pemilihan Nanang Galuh di Tanah Bumbu pada 2022 kemarin. Ia terpilih menjadi Wakil I Galuh.

Motivasinya mengikuti ajang itu setidaknya karena dua hal. Pertama, mengisi waktu luang–Nai terbiasa sibuk. Pandemi memaksa perkuliahannya di jurusan psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya memasuki kelas-kelas daring.

Kedua, membantu perekonomian keluarga akibat pandemi. “Ekonomi kan waktu itu lagi amburadul banget. Jadi buat biaya kuliah juga,” ungkapnya.

Nai juga punya komunitas yang berfokus pada isu kesehatan mental. Namanya Manusia Asa. Di Instagram, akun @manusiaasa.id punya 6.070 pengikut per Jumat (18/8).

Komunitas itu dibentuk bersama teman-temannya di Surabaya pada September 2020. Di Manusia Asa ada curhat dan konseling gratis.

“Jadi siapapun bisa curhat. Karena tim kami punya basic psychology treatment (terapi psikologi),” jelasnya.

Perempuan kelahiran Kotabaru itu juga aktif dalam komunitas peduli lansia, namanya Jalan Pelan. Singkatan dari Jaga Lansia Peduli Lansia. Basisnya di Surabaya.

Organisasi nirlaba itu juga berfokus pada kesehatan psikologis dan kesejahteraan pada lansia. “Kan selaras juga dengan jurusan kuliahku di psikologi,” ucapnya.

Mengapa ia aktif di komunitas-komunitas itu? Selain sesuai latar belakang pendidikan, Nai punya alasan lain. Saat pandemi, isu kesehatan mental sedang hype.

“Tapi banyak pengetahuan tentang kesehatan mental justru hoaks. Jadi kami ingin meluruskan,” tegasnya.

Sisi lain, ia sadar sumber daya manusia untuk mendengar orang lain kurang. “Lebih banyak orang yang ngomong daripada mendengarkan,” sesalnya.

Maka Nai bersama temannya termotivasi membuat platform yang punya dasar saintifik, namun tetap berempati dan humanis.

Namun, tren kesehatan mental saat ini kerap digunakan secara kurang tepat. Di media sosial misalnya, istilah-istilah kesehatan mental dibungkus dengan konten estetis. Dramatisasi pun terjadi.

Nai turut mengiyakan banyak orang salah kaprah memahami kesehatan mental. “Padahal itu bukan tren tapi pengetahuan,” ujarnya. (dza/gr/fud/jpg/hnd)

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments