Konten dari halaman ini Bola-Bola Grafologi

Bola-Bola Grafologi

- Advertisement -

Oleh AGUS DERMAWAN T.

Subuh pergi dan kabut pelan-pelan menguap. Matahari yang baru muncul merangkulkan cahayanya kepada lekuk dahan serta daun-daun kemboja. Cahaya itu lantas merambati tembok dan menyusup kisi-kisi jendela sehingga semakin menerangi sepojok ruang yang ditaburi banyak warna.

BALDASAR, lelaki yang ada dalam ruang itu, mendadak tersadar. Sudah lewat dini hari rupanya! Tapi untunglah hari ini saya berhasil menyelesaikan lukisan terbagus dari semua yang pernah saya cipta, katanya dalam hati.

Dalam suasana sarapan pagi Baldasar menghampiri istrinya.

”Neng, satu masterpiece lagi telah kucipta setelah 20 hari aku tekun mengerjakan. Lihat tuh di studio!”

Istri Baldasar tersenyum bungah. Ia memang selalu bangga dan bahagia atas hasil karya suaminya. Meski ia tahu betapa lukisan yang dikreasi sungguh-sungguh itu sangat jarang dibeli orang. Sehingga di rumahnya puluhan karya tergantung tenang.

”Pak Dutasena sudah siap mengoleksi. Nanti kamu yang antar ya. Nanti kamu nego harganya, jangan murah-murah pula. Nanti kau yang simpan uangnya. Semua.”

Mata istri Baldasar berkilatan. ”Tumben?!” katanya pelan.

Pada suatu pagi istri Baldasar mengantar lukisan itu ke rumah Dutasena. Dengan mobil boks sewaan lantas ditempuhnya perjalanan 65 kilometer. Wajahnya berseri, disongsongnya rezeki. Lalu kami akan membayar sejumlah utang. Kemudian kami akan menikmati tidur tenang. Begitu pikiran istri Baldasar terbang di sepanjang jalan tol.

Menjelang sore istri Baldasar baru pulang. Dengan wajah lesu ia memerintah sopir untuk menurunkan lukisan dari mobil boks. Baldasar yang lama menunggu segera menghampiri. ”Kenapa, Neng?” tanyanya dengan gundah.

”Pak Dutasena menolak lukisan itu. Entah kenapa. Tapi nanti kalau sudah sempat ia akan menelepon. Ia ingin berbincang panjang, katanya.”

Mendengar itu Baldasar geram.

”Alamak. Lagi-lagi ucapan dan kelakuannya tidak berhubungan. Mirip politisi! Padahal dia janji mau beli, lho. Padahal dia sudah lihat fotonya lewat WhatsApp! Dasar setan!”

Pada suatu tengah malam handphone Baldasar bergetar.

”Dutasena di sini.”

”Saya tahu. Kan ada namanya di HP saya! Ada apa kiranya?”

”Begini Bung Baldasar. Izinkan saya bicara panjang, tanpa kausela. Agar semuanya kaupahami dengan jelas. Agar nanti semua yang saya sarankan bisa kaulakukan dengan ikhlas! Begini. Hampir semua penggemar lukisan tahu bahwa Bung Baldasar adalah pelukis sangat terampil. Namun keterampilan itu belum sanggup menjadikan lukisan Bung mengerucut jadi karya yang memiliki ciri khas pribadi. Sehingga setiap orang melihat karya Bung seperti melihat karya orang lain saja. Kadang seperti karya Affandi, Van Gogh, Srihadi, dan Hendra Gunawan. Terakhir lukisan Bung seperti ciptaan Le Mayeur, juga Covarrubias. Mana Baldasar-nya?”

”Maaf. Orang-orang itu salah mata, Pak Dutasena…”

”Tunggu Bung. Saya katakan, ucapan saya jangan dipotong dulu….Tapi, sekali lagi, semua mengakui bahwa Bung Baldasar adalah pelukis sangat terampil. Bisa melukis apa saja dan gaya lukisan siapa saja. Karena itu saya menawarkan pekerjaan gampang untuk Bung.”

”Pekerjaan….”

”Tunggu, jangan dipotong dulu. Pekerjaan gampang karena hanya meniru karya pelukis terkenal sepersis-persisnya. Saya akan memberi foto-foto lukisan yang akan ditiru itu. Begitu lukisan tiruan itu lahir dengan sempurna, saya pasti akan membayarnya.”

Mata Baldasar bersinar dan memancarkan kerdap cobalt blue, warna yang sangat ia suka.

”Pak, pada prinsipnya saya menerima pekerjaan. Namun pertanyaan saya, apakah meniru lukisan sepersis-persisnya itu bukan pelanggaran? Bukan memalsukan karya?”

”Ooo.. itu begini. Sebuah karya seni rupa begitu diciptakan dan dipamerkan, sifatnya public domain. Ia milik masyarakat. Siapa pun boleh meniru sepersis-persisnya. Melukis ulang karya orang lain itu sah hukumnya. Lantaran meniru adalah juga mencipta. Yang tidak boleh dilakukan adalah apabila pelukis peniru itu mencantumkan tiruan tanda tangan pelukis aslinya di atas lukisan yang peniru bikin. Sehingga lukisan itu seolah karya pelukis aslinya. Itu pemalsuan… Ada pasalnya itu…”

”Sebenarnya, maksud Pak Dutasena ini apa ya? Kok saya rada bingung. Mengumpulkan lukisan tiruan?”

”Nah, Bung Baldasar akhirnya mulai mau paham. Terus terang, saya akan mengumpulkan lukisan tiruan karya para maestro yang lukisannya sudah terbukti terjual mahal di pasar. Blak-blakan ya, setelah lukisan tiruan itu jadi, saya akan memanggil ahli peniru tanda tangan. Dan dia yang bertugas menandatangani lukisan-lukisan tiruan dari Bung Baldasar itu.”

”Apakah penanda tangan itu tidak terkena pasal pemalsuan lukisan?”

”Ooo, tentu tidak. Karena penanda tangan kan tidak ikut melukis, tidak membuat lukisan. Dia hanya meniru tanda tangan. Jadi, dia tidak terlibat dalam pemalsuan lukisan. Dan tanda tangan hanya akan berkasus ketika berhubungan dengan dokumen, akta, dan sebagainya. Tidak dengan lukisan. Itu kata ahli hukum. Itu kata seorang komisaris polisi. Entah siapa namanya.”

Baldasar berpikir dalam-dalam.

”Berarti untuk itu Bapak harus membayar dua orang ya. Peniru lukisan dan peniru tanda tangan?”

”Memang begitulah taktiknya agar semua tidak kena kasus.”

***

Syahdan Baldasar telah bekerja sebagai pelukis peniru. Keterampilannya yang hebat melahirkan seratus lukisan tiruan karya maestro. Yang mengejutkan, Baldasar tidak hanya membikin lukisan tiruan, tetapi juga menuliskan tanda tangan tiruan dalam lukisan-lukisan yang dikerjakan itu. Tiruan tanda tangan Baldasar luar biasa persisnya dan kena benar karakternya.

Konon sebelum sampai ke situ, Baldasar mempelajari dulu ihwal pelukis yang dipalsukan tanda tangannya itu secara grafologis. Dari sejarah seninya, sejarah hidupnya, sampai psikologinya. Dutasena –yang pandai menjual karya seni apa saja– memang resmi menerima tawaran diri Baldasar untuk mengerjakan keduanya.

Belum sampai tiga tahun Baldasar sudah kaya raya. Rumahnya mograng-mograng di kaki bukit. Mobilnya banyak. Selain ada BMW 8 Series Coupe, terparkir juga di garasinya Lexus LC dan Bentley Flying Spur. Meski dua mobil terakhir ini ia beli seken dari seorang pengacara.

Tidak seperti pohon kemboja yang tak kenal musim untuk berbunga, musim mengoleksi lukisan mendadak anjlok. Resesi yang berkait-kait dengan konflik politik ditambah derita global lantaran pandemi Covid-19 adalah penyebabnya. Baldasar terdampak luar biasa sehingga tidak ada lagi pemasukan. Sementara biaya hidupnya sudah telanjur tinggi. Maka dengan hati berlumur frustrasi ia menghibur diri menonton promosi sepak bola Piala Dunia Qatar di televisi.

”Aku ada ide!” Tiba-tiba ia berjingkat dari sofanya.

Beberapa hari kemudian Baldasar sudah berada di keramaian Piala Dunia Qatar. Uang saya di bank masih lebih dari cukup kalau untuk sekadar melanglang, ucapnya dalam hati. Di lobi hotel ia bertemu Raffiri Armand, selebriti yang jadi sultan karena kaya tiada terkira. Mereka potret bersama sambil keduanya mengangkat sebutir bola.

Piala Dunia Qatar sudah usai. Argentina juara dan Prancis merana. Namun kegembiraan rakyat Argentina tak bisa mengalahkan sukacita Baldasar yang sedang tampil sebagai penghelat sebuah pameran dan lelang unik di sebuah mal. Kepada pengunjung yang hadir dalam opening ceremony ia berunjuk pidato.

”Hadirin yang berbahagia, Anda pasti hanya tahu bahwa saya seorang pelukis. Tetapi Anda kurang tahu bahwa saya sesungguhnya juga penggemar sepak bola yang tiada duanya. Selebihnya saya juga pengultus para pemain bola dunia. Oleh karena itu, ketika saya datang ke Piala Dunia Qatar beberapa waktu lalu, pekerjaan saya tak hanya menonton, tetapi juga mengejar para bintang untuk meminta tanda tangan. Luar biasa jerih payah saya untuk mendapatkan itu. Saya harus melobi para manajer kesebelasan untuk bisa masuk ke kamar ganti. Harus gesit beralasan agar saya bisa mendekati bintang pujaan di luar lapangan. Harus pintar menjalin kata-kata berbagai bahasa agar para jagoan bersedia membubuhkan tanda tangannya di atas bola yang saya bawa,” tutur Baldasar.

”Sedangkan bola-bola yang bertanda tangan ini bukanlah bola biasa. Karena 35 bola yang saya pamerkan sekarang sesungguhnya adalah bola yang pernah dimainkan di tengah lapangan. Hadirin bisa menghitung, setiap kali pertandingan biasanya menggunakan 7 sampai 10 bola. Karena bola yang tertendang jauh ke luar lapangan selalu segera digantikan dengan bola baru. Untuk itu, saya tak henti merayu para pemungut bola yang terposisi di tepian. Dengan berbagai cara pendekatan, saya bisa mengumpulkan banyak bola dari berbagai pertandingan.”

Sebagian tamu bertepuk tangan.

”Nah, 35 bola itulah yang ditandatangani oleh para bintang. Hadirin sekarang bisa menyaksikan bola-bola bertanda tangan itu. Bola-bola inilah yang akan saya lelang sekarang! Saya ingin 50 persen uang hasil lelang ini disumbangkan untuk korban tragedi Kanjuruhan.”

Semua tamu memberikan aplaus.

Baldasar turun dari mimbar. Ratusan tamu asyik menyaksikan displai bola bertanda tangan yang akan dilelang. Menakjubkan memang. Ada bola yang bertanda tangan Kylian Mbappe dan Olivier Giroud dari Prancis. Lionel Messi dan Enzo Fernandez dari Argentina.

Takefusa Kubo pemain sayap dari Jepang. Hector Moreno bek tengah Meksiko. Goncalo Ramos dari Portugal. Joshua Kimmich dari Jerman. Cho Gue-sung dari Korea Selatan. Achraf Hakimi dan Mehdi Benatia dari Maroko. Dominik Livakovic kiper Kroasia, Mohammed Kudus dari Ghana, sampai Cristiano Ronaldo sang kapten legendaris Portugal.

”Sayang saya tidak berhasil mendekati Julian Alvarez si penyerang Argentina dan Cody Gakpo sayap jagoan dari Belanda. Saya kecewa,” kata Baldasar kepada sejumlah pengunjung. Wajahnya mengerut agak sedih.

Lalu lelang dilaksanakan dan berlangsung bukan main ramai. Semua bola grafologi itu terjual dengan harga tinggi setelah paddle bid naik bertubi-tubi. Pengunjung menghitung, tak kurang Rp 77 miliar terkumpul dari lelang itu! Lima puluh persen untuk korban tragedi Kanjuruhan. Lalu 50 persen tentu untuk Baldasar sang pemburu tanda tangan.

Di tengah pesta kesuksesan, seorang wartawan memperhatikan sebuah bola yang ditandatangani Raffiri Armand, disertai foto Baldasar dan Raffiri yang sedang berpose di lobi hotel di Qatar. Setelah terkesima, wartawan itu lantas buru-buru mendekati Baldasar dan bertanya.

”Pak Baldasar, kalau bola yang itu dilengkapi foto Anda dengan Raffiri, mengapa bola-bola yang lain tidak satu pun yang dilampiri foto Anda bersama mereka? Anda dengan Messi, dengan Mbappe, misalnya.”

Baldasar gugup. Sebelum berpikir untuk menjawab, Dutasena mendadak muncul dari kerumunan pelaku lelang. Dutasena berkata lirih. ”Bung Baldasar, tolong bikinkan bola bertanda tangan Pele, Lev Yashin, dan Maradona ya. Ada yang mau beli mahal, nih.” Baldasar terpana.

”Hah? Mereka sudah meninggal, Pak Dutasena…”

”Ah, itu bisa kita bikin ceritanya….”

***

Subuh pergi. Kabut belum juga menguap, tapi matahari mulai menerangi tanah. Baldasar bangun dari tidurnya yang nyaman. Seperti biasa, sambil setengah menggeliat ia merayap menuju jendela. Aha, ia mendadak terpana ketika melihat di kejauhan ada belasan wartawan yang menunjuk-nunjuk pintu rumah mewahnya, dengan diiringi dua mobil polisi.

Dengan sigap ia lalu membalik badan. ”Neng…” serunya. Lirih. (*)

Kelapa Gading, 2023

AGUS DERMAWAN T., Penulis buku budaya dan seni, yang juga menulis puisi dan cerpen. Buku cerpen terbarunya, Odong-Odong Negeri Sulap (KPG, 2022).

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments