Mendiamkan Kezaliman

- Advertisement -

PROKALTENG.CO – Mendiamkan kezaliman, apalagi kezaliman yang menyentuh kepercayaan atau keyakinan orang lain, merupakan sesuatu yang sulit diterima. Ungkapan kebencian berdasarkan agama tidak hanya diukur melalui ujaran dan statemen yang melahirkan kebencian terhadap orang atau kelompok tertentu, tetapi melakukan pembiaran dan mendiamkan kezaliman, kesewenang-wenangan terjadi di dalam masyarakat dapat juga difahami sebagai bentuk lain dari kebencian.

Seorang tokoh yang sangat berpengaruh dan sangat didengarkan suaranya oleh masyarakat, baik kapasitasnya sebagai tokoh agama, tokoh, adat, atau tokoh pemerintahan, melakukan pembiaran terhadap sebuah kezaliman, tirani, dan anarkisme yang terjadi di dalam masyarakat, maka itu bisa diartikan sama dengan ujaran kebencian.

Sebagai contoh, di tengah masyarakat terjadi anarkisme terhadap kelompok agama atau kepercayaan minoritas oleh kelompok mainstream atau kelompok mayoritas, lalu tokoh masyarakat tersebut bersikap diam, tidak menegur dan tidak mencegah anggota masyarakat itu melakukan anarkisme dan penzaliman, maka jelas ini dapat disebut sebagai ujaran kebencian.

Meskipun ia tidak melakukan ujaran kebencian (hate speech) tetapi sikap melakukan pembiaran terhadap orang yang melakukan ujaran kebencian dapat ditafsirkan merestui atau mendukung secara diam-diam ujaran kebencian.

Ia sesungguhnya bisa mencegah terjadinya anarkisme itu seandainya ia menyerukan larangan terhadap warganya, namun ia diam dan karena diamnya ditafsirkan sebagai bentuk persetujuan makan terjadilah anarkisme itu.

Dalam kasus tertentu, seseorang dapat dilakukan turut serta melakukan perbuatan pidana manakala seseorang memiliki kapasitas untuk mencegah perbuatan tersebut.

Dalam skala tertentu, melakukan pembiaran orang untuk melakukan ujaran kebencian padahal ia memiliki kapasitas mencegahnya, maka sikap diamnya itu dapat disamakan turut serta melakukan ujaran kebencian. Sikap diam tersebut bisa dianggap dianggap “dukungan diam” terhadap ujaran kebencian.

Bahkan, sikap diam tersebut bisa dibaca sebagai intellectual actor terhadap ujaran kebencian. Memang tidak mudah menjadi tokoh masyarakat, karena ucapan dan diamnya dapat dianggap perbuatan hukum. Berbeda dengan orang awam atau anggota masyarakat biasa, ucapannya saja tidak didengar, apalagi diamnya.

Dalam Islam, kezaliman, kejahatan, dan kebatilan dalam bentuk apapun, menjadi kewajiban setiap orang untuk mencegahnya.

Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan dalam sebuah hadistnya: “Jika kalian menyaksikan kezaliman atau kemungkaran, maka cegahlah dengan kekuatan tangannya (the power). Jika tidak punya kekuatan itu, maka cegahlah dengan seruan atau mulutnya. Jika juga masih belum berdaya, cegahlah di dalam bentuk protes batin atau doa, dan inilah manifestasi iman lebih rendah”.

Dalam Al-Qur'an juga berkali-kali Allah SWT mengingatkan kepada umat manusia, untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Jika ada orang melakukan pembiaran terhadap sebuah kejahatan padahal ia memiliki kemampuan mencegahnya, maka itu termasuk perbuatan dosa.

Dengan demikian, ujaran kebencian dapat diukur bukan hanya dalam bentuk ucapan; baik ucapan melalui bahasa mulut, tulisan, atau mimik, tetapi juga sikap diam atau acuh terhadap ujaran keebencian itu.

Dalam skala lebih luas, sesungguhnya pemimpin ormas keagamaan tidak boleh diam di dalam menyaksikan warganya melakukan ujaran kebencian. Pemimpin ormas harus berani berbicara (speak-out) untuk mencegah terjadinya penistaan. Kita tidak boleh mendiamkan kebatilan, karena itu sama saja memberikan dukungan terhadap kebatilan itu.(*)

(Prof. Dr. K.H. NASARUDDIN UMAR, M.A. Imam Besar Masjid Istiqlal)

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments