BAGI penggemar sepakbola di Indonesia, menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada Mei tahun ini seharusnya menjadi salah satu kenangan terhebat dan terindah sekali seumur hidup. Namun sayang sekali, penolakan segelintir elit pemimpin daerah atas Israel sebagai peserta yang lolos ke Piala Dunia U-20 malah menjadi pemicu atas dicopotnya status tuan rumah Indonesia oleh FIFA.
Ibaratnya, elit pemimpin daerah ini berani “ngomong dulu risiko belakangan. Begitu tuan rumah dicopot, protes kemudian tiada berguna".Masih sulit menerima hal tersebut, jika semakin dipendam malah semakin kesal dengan drama gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 ini.
Mimpi untuk turut memviralkan Indonesia sebagai negara super ramah, penuh senyum, beragam tapi bisa bersatu, makanannya enak-enak dan termasuk terbaik di dunia seperti pisang goreng, sop buntut, sate ayam, rendang, nasi goreng, mpek empek, coto makassar, serta lokasi wisata yang indah-indah hilang sudah.
Harapan untuk mengajak anak-anak melihat pertandingan bola dunia sambil menanamkan optimisme bahwa lewat sepakbola, setiap orang punya kesempatan menjadi seseorang yang tidak hanya populer, tapi berdampak bagi masyarakat pun punah.
Naluri penggemar sepakbola untuk mencoba menjadi bagian mempromosikan, memamerkan ke-Indonesia-an kita ini, juga kandas. Padahal pamer tentang Indonesia menurut saya ini jauh lebih baik daripada flexing kekayaan yang lagi marak tapi tidak jelas manfaat dan asal-usul kekayaannya.
Ironisnya, tidak banyak juga negara lain yang membela negara kita usai dicabut sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Piala Dunia U-20 akan tetap berjalan di negara lain, timnas Israel tetap berlaga, sementara timnas U-20 kita tidak bisa ikut bertanding di turnamen itu karena bukan tuan rumah lagi, dan peta jalan timnas Indonesia menjadi buram lagi dalam percaturan sepakbola dunia.
Dan elite politik hanya mengucapkan menyesal serta minta maaf.
Langkah Mundur Setelah G-20 Bali
Indonesia jelas membutuhkan event-event penting dunia untuk mempertahankan momentum kesuksesan Indonesia menjadi tuan rumah G-20 Bali akhir tahun lalu. Baik dalam menghasilkan deklarasi serta berbagai kesepakatan multilateral dan bilateral maupun dalam hal penyelenggaraan event yang berjalan aman dan lancar. Bahkan berbagai kuliner berbasis rempah-rempah terbaik di Indonesia yang disajikan di G-20 juga membuat betah para pemimpin dunia untuk berlama-lama di Bali.
Gelaran G-20 di Bali ini sampai membuat the Economist menulis Indonesia kembali penting bagi dunia. Salah satunya karena ekonominya tumbuh terus melebihi banyak negara di dunia. Dunia sedang melihat ke Indonesia. Jadi apapun yang dilakukan Indonesia, akan ditunggu.
Wajar jika kemudian muncul optimisme bahwa Indonesia akan mampu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada di berbagi lini dari mulai servis digital, investasi hijau, ekspor-impor, pariwisata hingga olahraga untuk menjaga momentum kesuksesan G-20 Bali yang sudah sangat baik.
Di bidang olahraga, Piala Dunia U-20 dan beberapa event olahraga dunia lain seperti tuan rumah Moto GP 2023, tuan rumah putaran final kejuaraan bola basket dunia FIBA menjadi kesempatan emas Indonesia di tahun 2023 untuk unjuk gigi dalam menggelar event-event besar dunia sekaligus merasakan dampak ekonomi dari event-event tersebut.
Yang terbesar tentunya adalah Piala Dunia U-20 yang merupakan event kedua paling besar FIFA setelah Piala Dunia di level senior. Mengacu pada beberapa data sebelumnya, dampak Piala Dunia U-20 ini positif dari satu negara ke negara lain.
Di Kanada pada 2007, penonton yang datang ke stadion menyaksikan Piala Dunia U-20 jumlahnya mencapai 1,2 juta orang. Berbekal dana sebesar USD 108 juta yang dikucurkan untuk turnamen penting ini, event itu berkontribusi pada kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) Kanada sebesar USD 114 juta, menguitp hasil studi Canadian Sport Tourism Alliance. (2007) “FIFA U-20 World Cup Canada 2007: Economic Impact Assessment” .
Sedangkan pada gelaran Piala Dunia U-20 tahun 2015 di Selandia Baru, laporan studi menyebutkan gelaran itu ditonton sekitar 300.000 orang dengan 52.650 penonton internasional dan rata-rata tinggal 14,3 hari. itu ini menaikkan PDB setempat sebesar USD 30,4 juta, melebihi pengeluaran pemerintah Selandia Baru sebesar USD 5,5 juta untuk turnamen tersebut.
Belum lagi kesempatan yang tidak terukur seperti makin banyaknya teman dari berbagai negara di dunia terutama bidang olahraga yang menyukai Indonesia jika benar-benar berhasil menggelar Piala Dunia U-20 dengan aman. Ini kemungkinan akan menular pada munculnya kesempatan bagi Indonesia menggelar event olahraga yang lebih tinggi levelnya seperti Piala Dunia FIFA di level senior serta Olimpiade.
Ditopang dengan kesuksesan kita menggelar Asian Games 2018 yang kurang lebih setara dengan gelaran Piala Dunia U-20 dalam hal jumlah penonton, bangsa kita punya bekal pengalaman dan kemampuan yang cukup untuk menggelar Piala Dunia U-20. Dalam catatan penulis pada akhir tahun tahun lalu, salah satu tantangan dalam menggelar Piala Dunia U-20 ini adalah mengatasi kekerasan dalam sepakbola termasuk kekerasan
Namun sialnya, kata terakhir yakni terorisme ini bukannya dijadikan suatu potensi risiko yang harus ditangkal agar tidak terjadi, malah menjadi alasan ketakutan untuk menolak tim Israel bertanding, yang berujung dicabutnya status Indonesia sebagai tuan rumah oleh FIFA. Dampak ekonomi, reputasi positif yang sudah terproyeksikan dengan menyelenggarakan Piala Dunia U-20 pun jadi tidak ada, karena ketidakbijaksanaan dan kekuranghati-hatian beberapa para pemimpin daerah dalam mengambil sikap.
Fokus Kemana?
Piala Dunia U-20 gagal digelar di Indonesia, otomatis timnas Indonesia U-20 juga gagal tampil di turnamen bergengsi ini. Momentum mengakselerasi peta jalan timnas Indonesia yang lebih berkualitas juga hilang, sehingga mau tidak mau fokus diarahkan lagi ke juara di level Asia Tenggara. Piala AFF, SEA Games dalam 1-5 tahun, dan juara di level Asia seperti Piala Asia, Asian Games 5-20 tahun mendatang.
Barulah pada 20 tahun lebih, Indonesia mampu bertarung di level dunia dan selanjutnya bisa bermimpi menjadi juara dunia. Masih panjang memang jalannya, butuh kesabaran.
Jepang sebagai salah satu kiblat sepakbola Asia sekarang telah memulai langkah besarnya menuju level dunia pada 1990an. Saat itu Jepang setara dengan Indonesia kualitas sepakbola-nya, tapi kini mereka melaju kencang di level Asia dan sangat kompetitif di level dunia berkat reformasi liga menjadi profesional dan bersih, program naturalisasi pada tahap awal proses reformasi, dan pengembangan pesepakbola usia dini yang berkualitas.
Ketua Umum PSSI Erick Thohir yang baru terpilih Februari lalu sempat menyatakan Jepang bisa menjadi inspirasi mengembangkan sepak bola Indonesia. Dalam catatan penulis, Jepang tidak pernah malu melakukan benchmark dengan banyak negara untuk menemukan cara mengembangkan sepakbolanya, hal ini juga yang perlu dijadikan inspirasi bagi Indonesia.
Komitmen FIFA untuk tetap membantu reformasi sepakbola Indonesia juga patut diapresiasi dan dimanfaatkan semaksimal mungkin di berbagai elemen pertandingan sepakbola dari mulai pengembangan klub, wasit, pesepakbola, hingga fasilitas sepakbola.
Fokus lainnya adalah tetap berupaya menjadi tuan rumah Piala Dunia di level senior tapi gandeng beberapa negara ASEAN untuk jadi tuan rumah bersama, mungkin di 2040-an. Dengan begini, masalah Israel bisa termitigasi jika ia tampil di Piala Dunia, demikian juga masalah biaya penyelenggaraan juga bisa ditanggung bersama.
Menggelar event terbesar ini penting karena bisa meningkatkan rasa kebanggaan sebagai bangsa berdiri sejajar dengan negara negara besar di sepakbola, mengakselerasi perkembangan timnas sepakbola, memperbanyak sahabat di sepakbola dunia hingga mendapatkan manfaat yang besar bagi ekonomi bangsa maupun kawasan ASEAN.
Yang terdekat, tentu Indonesia perlu tampil kompetitif di Piala Asia AFC 2023 level senior di Qatar 12 Januari-10 Februari 2024. Masih berat untuk lolos ke babak knock out, tapi masih ada waktu untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk bisa memberikan kejutan.
Lolos dari babak grup akan menjadi kado tahun baru yang spesial bagi Indonesia, sebab menjadi juara Asia masih jauh dari jangkauan. Tentunya sambil berharap tidak ada sanksi larangan bertanding dari FIFA akibat kita dicabutnya status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20.
Sumbang saran tentang apa yang mungkin Indonesia bisa lakukan dalam pengembangan sepakbola ini merupakan tanda cinta yang tiada henti untuk sepakbola Indonesia. Lebih lanjut, tentu Pak Erick Thohir dan tim PSSI bisa mengembangkan tanpa perlu drama untuk memenuhi ekspektasi publik. Semangat!
*) Moch N. Kurniawan, Dosen Ilmu Komunikasi Swiss German University