Konten dari halaman ini RUU Kesehatan dan Demensia Sejarah - Prokalteng

RUU Kesehatan dan Demensia Sejarah

- Advertisement -

HAK masyarakat untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat diatur dan dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28. Dengan legalitas tersebut, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dibentuk untuk mewadahi aspirasi dan idealisme para dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan dan menjaga kesehatan masyarakat. Legalitas itu juga didukung oleh validasi Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang mengesahkan IDI sebagai organisasi tunggal profesi kedokteran.

Perkumpulan dokter pertama didirikan pada tahun 1911 dengan nama Vereniging van lndische Artsen dan berubah menjadi Vereniging van lndonesische Geneeskundige (VIG) pada 1926. Melalui perkumpulan itulah muncul tokoh-tokoh perjuangan Indonesia, yaitu dr Wahidin, dr Soetomo, dan dr Tjipto Mangunkusumo, yang mendirikan Indische Partij dan menjadi fondasi nasionalisme Hindia dalam revolusi intelektual sebagai titik tolak perjuangan kemerdekaan.

Pergantian nama dan kemunculan dua perkumpulan, Persatuan Thabib Indonesia dan Persatuan Dokter Indonesia (PDI), mengarah pada permufakatan untuk menjadi satu di tahun 1950-an, di bawah panji-panji Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Dalam perjalanan panjang IDI sebagai suatu organisasi profesi, beberapa sentimen muncul dari pihak-pihak yang menstigma bahwa organisasi ini telah bertindak sewenang-wenang, anti pemerintahan, melakukan praktik memperkaya diri, hingga isu politik identitas bernuansa Islamofobia.

Pernyataan sejumlah pihak baru-baru ini ikut menyudutkan IDI tanpa melakukan klarifikasi sehingga menimbulkan polemik meresahkan. IDI telah beberapa kali diterjang isu pembubaran terkait keputusan organisasi terhadap tindakan indisipliner anggota. Tuduhan masyarakat yang muncul dari penggiringan opini publik ini sampai mendiskriminasi penampilan fisik anggota IDI yang dianggap terlalu agamais dan berelasi dengan kutub kanan radikalisme.

Bukan hanya itu, perombakan regulasi yang tampak bertujuan untuk mengebiri eksistensi IDI pun dilakukan. Termasuk, misalnya, dengan meniadakan rekomendasi dari IDI untuk mendapatkan surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP).

Hal itu tercantum dalam RUU Kesehatan Omnibus Pasal 234 dan 235. Hak pemberian STR dan SIP yang seyogianya dilakukan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang merupakan mitra setara IDI diambil alih oleh pemerintah pusat, yaitu oleh menteri kesehatan, maupun oleh pemerintah daerah.

Padahal, IDI dengan MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) dengan mitranya KKI dengan MKDKI-nya (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) merupakan kesatuan yang telah menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang profesional, etis, dan taat hukum serta aturan.

Apa yang kiranya akan terjadi ketika dokter-dokter baru mendapatkan registrasi dan izin praktik tanpa aturan dan kendali mutu yang mumpuni? Diawasi oleh institusi-institusi ini saja masih terjadi banyak layanan kesehatan yang malapraktik dan membahayakan masyarakat, terlebih bila tanpa pengawasan.

Dalam draf RUU Kesehatan juga disampaikan, STR berlaku tanpa jangka waktu. Dokter tidak perlu lagi melakukan registrasi ulang yang sebenarnya berfungsi untuk mengevaluasi kompetensi dokter. Hal tersebut jelas akan membahayakan masyarakat, mengingat profesi dokter seharusnya senantiasa menginikan pengetahuan dalam dunia kesehatan, termasuk dalam pelayanan kesehatan.

Bila terjadi malapraktik karena ketidakmampuan dokter, siapa yang harus bertanggung jawab atas hal tersebut? Kementeriankah? Pemerintah daerahkah? Melalui jalur apa?

Bagaimana pemerintah bisa mengatasi masalah kesehatan masyarakat berikut masalah pelayanan kesehatan yang tidak profesional, sementara akses pengaduan masyarakat sangat terbatas, bahkan tidak ada? Lagi-lagi, organisasi profesi yang komprehensiflah yang akan menindaklanjuti setiap aduan masyarakat.

 

Demensia Sejarah

Merunut kejadian terkait pengebirian IDI dan mitra-mitranya, ada beberapa kemungkinan yang melatarbelakangi. Pengambilalihan rekomendasi dan pemberian STR serta SIP oleh kementerian dan pemerintah akan memudahkan masuknya tenaga ahli kesehatan asing.

Pendirian rentetan rumah sakit yang berbasis industrialisasi menjadi marak sehingga kesehatan masyarakat hanya akan menjadi objek kapitalisme. Dampaknya, dokter dalam negeri akan mengalami persaingan masif dan berakhir sebagai penonton di pinggir gelanggang.

Masyarakat pun juga akan mengalami gegar budaya (culture shock) dan kesulitan dalam mengomunikasikan permasalahan kesehatannya. Tidak tertutup kemungkinan akhirnya masyarakat menjadi objek eksperimen kesehatan, meski berlindung di balik kesantunan dan pelayanan humanistis.

Permasalahan di atas seharusnya bisa didiskusikan secara komprehensif dan mendalam agar mendapatkan titik temu dengan tujuan utama menuju Indonesia sehat. Sentimen dan pertikaian internal para dokter sebagai intelektual seharusnya bisa diredam dan ditindaklanjuti secara arif.

Dengan senantiasa mengingat bagaimana para pendahulu memilih untuk mengesampingkan ego dan bersatu dalam satu kesatuan, IDI. Soliditas, baik di antara para dokter maupun antara dokter dan masyarakat, seharusnya bisa terbentuk dengan komunikasi yang baik dan menenangkan, alih-alih diwarnai dengan kecurigaan dan syak wasangka.

IDI dan KKI juga harus mengintrospeksi diri tentang apa yang belum tepat dilakukan dan cara-cara apa yang harus ditempuh untuk memaksimalkan kedekatan hubungan antara para dokter dan masyarakat.

Jiwa kolaborasi dan kooperasi harus ditumbuhkan di dalam masing-masing individu agar meminimalkan sifat tidak puas dan kompetisi yang tidak sehat di antara sejawat. (*)

 

*) HISNINDARSYAH, Dokter Spesialis Kelautan; Anggota Tim Advokasi, Hukum, dan Kebijakan Regional IDI Jatim; Anggota P2KB IDI Pusat

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments