LAPORAN World Bank berjudul ”Is a Global Recession Imminent?” memprediksi terjadi resesi ekonomi global pada 2023. Penyebabnya, kondisi ekonomi politik dunia, seperti perang berkepanjangan Rusia-Ukraina, yang mengganggu rantai pasok global. Lalu tingginya tingkat inflasi dan kenaikan suku bunga hingga masih adanya pembatasan aktivitas akibat pandemi Covid-19 yang memengaruhi rantai pasok barang.
Namun, menurut hemat penulis, ekonomi Indonesia tetap dapat stabil dan bertumbuh secara positif. Resiliensi Indonesia tetap dalam kondisi positif dalam menghadapi ancaman resesi global. Beberapa cara dilakukan pemerintah Indonesia seperti hilirisasi pemanfaatan sumber daya alam, khususnya pertambangan; peningkatan tingkat komponen dalam negeri (P3DN); penguatan insentif untuk usaha mikro, kecil, dan menengah; hingga transisi ekonomi hijau. Semua itu akan membuat daya tahan perekonomian menguat dalam menghadapi kondisi yang oleh Warren Bennis dan Burt Nanus dijelaskan sebagai VUCA, sebuah kondisi dengan perekonomian gejolak atau volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, serta ambiguitas.
Dan, dalam konteks Indonesia, satu yang tak boleh luput disebutkan, disadari atau tidak, yakni Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 yang akan menjadi alat penggerak ekonomi Indonesia. Potensi Pemilu dan Pilkada 2024 sangat signifikan dalam membantu daya tahan Indonesia terhadap ancaman resesi global, termasuk pada tahun ini.
Harga Pesta Demokrasi
Pada pemilu 14 Februari tahun depan masyarakat Indonesia akan memilih anggota DPD RI, DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, hingga DPR RI serta presiden dan wakil presiden. Sedangkan gubernur, wali kota, dan bupati dipilih serentak pada 27 November 2024.
Pemerintah menganggarkan Rp 76 triliun untuk Pemilu 2024. Anggaran dialokasikan untuk KPU RI selama tiga tahun, yakni 2022 sekitar Rp 8 triliun, 2023 (Rp 23,8 triliun), dan 2024 (Rp 44,7 triliun). Sementara untuk Bawaslu sebesar Rp 33,8 triliun. Belanja barang dan modal pemerintah dalam konteks Pemilu dan Pilkada 2024 ini sangat penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi yang ujungnya dapat meningkatkan produktivitas dan kapasitas ekonomi negara.
Anggaran tersebut belum termasuk porsi APBN dari kementerian/lembaga lain untuk mendukung pelaksanaan pemilu, APBD untuk pilkada serentak, beserta dana cadangannya serta belanja kebutuhan peserta pemilu dan pilkada serentak. Maka, uang yang akan dibelanjakan bakal sangat besar pada 2023 dan 2024. Sungguh angka fantastis yang akan mendorong efek berganda (multiplier effect) dalam berbagai sektor.
Bicara belanja kebutuhan selama pemilihan, alokasi besar dipastikan pada kampanye dan akomodasi saksi saat penghitungan suara. Berdasar riset Prajna Research Indonesia, tahun 2018, rata-rata caleg DPR RI dan DPD RI habis biaya Rp 1–2 miliar. Caleg DPRD provinsi Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Dan caleg DPRD kabupaten/kota berkisar Rp 250–300 juta. Mereka akan bertarung di 84 dapil untuk caleg DPR RI, 301 dapil untuk caleg DPRD provinsi, dan 2.325 dapil untuk caleg DPRD kabupaten/kota.
Katakan saja, dari 17 parpol peserta pemilu, masing-masing mengajukan 10 caleg setiap dapil, artinya ada 53.597, ditambah 700 calon senator DPD RI. Jika dihitung menggunakan angka minimal yang dikeluarkan calon legislator dan calon senator DPD, berkisar ada Rp 139,3 triliun hingga Rp 280 triliun yang beredar di masyarakat. Ditambah dengan berkaca pada laporan dana kampanye di Pemilu 2019 yang masing-masing partai politik mengeluarkan minimal Rp 100 miliar, alokasi dari tim pemenangan parpol mencapai kisaran Rp 1,7 triliun.
Untuk pilkada serentak, riset terkini LIPI menyebutkan, biaya yang dikeluarkan kandidat calon gubernur dan calon wakil gubernur minimal Rp 100 miliar. Kandidat pasangan wali kota dan bupati minimal Rp 20 miliar. Pilkada serentak digelar di 542 daerah meliputi 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Bila masing-masing daerah mempunyai dua kandidat, uang yang dibelanjakan dalam kisaran Rp 13,8 triliun.
Sedangkan untuk pasangan kandidat presiden dan wakil presiden, menurut prediksi Lingkar Survei Indonesia, presiden minimal membutuhkan dana Rp 1 triliun. Angka itu paling besar untuk pengenalan atau mengerek popularitas serta peningkatan elektabilitas pasangan capres-cawapres dan akomodasi saksi saat penghitungan suara.
Ditambah pengeluaran APBD setiap daerah untuk penyelenggaraan pilkada serentak, tentu uang yang beredar menjadi semakin menggelembung. Bukan tidak mungkin, total dana yang mengucur dan beredar selama Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 paling sedikit Rp 350 triliun hingga Rp 500 triliun. Fantastis! Harga rupiah dari pesta demokrasi.
Pemilu, Efek Ganda
Alokasi dari penyelenggara dan peserta pemilu Rp 350 triliun itu sebagian besar akan diserap masyarakat. Pemilu menghasilkan efek berganda bagi masyarakat, terutama pelaku usaha. Saat kampanye dimulai, sektor yang berkaitan dengan promosi above the line atau menggunakan media massa dan media sosial dan below the line atau kampanye tatap muka tentu menjadi sangat bergairah.
Penulis memprediksi sektor yang akan bertumbuh tinggi adalah industri media, komunikasi dan informatika, industri kreatif, transportasi, industri percetakan, dan industri tekstil. Serta yang pasti hotel, restoran, dan kafe sebagai lokasi konsolidasi partai ataupun kandidat. Belum lagi bila aktivitas politik kandidat melibatkan pihak lain seperti selebriti, pembagian sembako, pengobatan gratis, dan sebagainya.
Dengan demikian, Pemilu dan Pilkada 2024 akan menjadi alat penggerak ekonomi Indonesia sekaligus menghadang ancaman dampak resesi dunia. Selamat berpesta demokrasi, ekonomi tumbuh terjaga! (*)
*) DIDIK PRASETIYONO, Direktur utama PT SIER, perusahaan pengelola kawasan industri di Surabaya dan Pasuruan, Jawa Timur; komisioner KPU Provinsi Jawa Timur 2003–2008