RAMADAN dan Hari Raya Idul Fitri 1444 H atau Lebaran 2023 berlangsung di tengah situasi sosial politik hangat jelang Pemilu 2024. Kita bisa mencermati gerak para tokoh politik yang cukup dinamis di tingkat nasional dan daerah selama Ramadan dan berlanjut Idul Fitri. Sulit untuk menyebut mereka tengah berpuasa meredam nafsu atau syahwat politik.
Publik mengikuti maraknya pertemuan konsolidasi para pimpinan partai politik sebagai pucuk piramida politik nasional. Wajah politik di Indonesia sepanjang Ramadan dibedaki oleh aneka ragam konsolidasi menuju koalisi dari partai politik menjelang pemilu presiden dan wakil presiden. Media massa riuh memberitakan. Media sosial pun meramaikannya.
Satu simpul konsolidasi antarpartai bertemu untuk mendekatkan kepentingannya dengan simpul konsolidasi antarpartai lainnya. Simpul lainnya terus berputar-putar mengukur kepantasan bakal calonnya, sembari mengintip siapa bakal calon pendampingnya. Ideologi dan program strategis partai untuk memperbaiki kehidupan rakyat nyaris tak terdengar dari diskusi elite politik.
Hitung-hitungan pragmatis jangka pendek menyeruak tajam dari meja perundingan elite ke hadapan publik. Memang, parpol adalah wadah sah agregasi dan mengartikulasi kepentingan politik dalam kekuasaan negara. Tapi, adagium dalam politik ’’tak ada benar atau salah, tapi yang ada menang atau kalah’’ mesti direnungkan lagi. Parpol boleh mengajukan tokohnya untuk jadi pilihan parpol lain dan rakyat pemilih. Namun, parpol tak elok jika hanya memikirkan itu.
Drama Konsolidasi
Sepanjang Ramadan, publik dipertontonkan berbagai drama konsolidasi pimpinan parpol. Drama yang jauh dari semangat dan substansi politik kerakyatan. Masalah sandang, pangan, rumah, dan tanah rakyat tak pernah terdengar dibincangkan serius oleh elite politik. Padahal, puasa Ramadan dimaksudkan Tuhan untuk mendidik umat Islam (dan manusia) untuk menahan diri dari segala nafsu duniawi.
Di sisi lain, publik melihat gerak-gerik politikus provinsi dan kabupaten/kota tak jauh berbeda dengan elite politik nasional. Jika elite politik di Jakarta bernafsu untuk memilih kawan koalisi serta bakal calon presiden dan wakil presiden, para politikus di daerah ngebet untuk menjadi bakal calon anggota legislatif. Sebagian politikus pun tak kalah kreatif dan agresif dalam merenggut pandangan publik sepanjang Ramadan dan berlanjut hingga Lebaran.
Tengoklah sekitar, terutama baliho ukuran jumbo yang mereka pampang. Di tengah kota dan lokasi strategis yang dilalui banyak orang saat perjalanan mudik dan balik itu bertebaran spanduk berisi foto diri, gambar parpol, dan ajakan untuk memilih mereka. Ucapan selamat Lebaran dari politisi juga memenuhi jalan raya dan media massa.
Baca Juga : Festival Malahayati di Halal bi Halal Partai Nasdem
Kembali Fitri
Menurut KPU, penetapan calon anggota legislatif baru akan dilakukan Mei 2023. Puasa Ramadan bulan Maret dan April 2023, harusnya tak ada bakal calon yang berkampanye. Jika dilakukan, bisa masuk kategori ’’curi start’’. Meskipun bisa saja berkilah bahwa mereka belum ditetapkan sebagai peserta pemilu.
Belum lagi tindakan para politikus yang memperlihatkan keinginannya untuk menjadi kepala daerah di provinsi dan kabupaten/kota. Mereka tak kalah agresif. Baliho dan spanduk yang menayangkan foto wajah berseri dan memperkenalkan diri sebagai bakal calon gubernur dan bupati/wali kota bermunculan. Ada yang bekas bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota. Mereka memasang alat peraga kampanye bukan pada masanya.
Mencermati kesucian Ramadan sebagai bulan penuh berkah dan ampunan yang disediakan Tuhan Yang Mahakuasa, terkesan sedikit banyak telah ternodai oleh perilaku sebagian politikus. Begitu pula Hari Raya Idul Fitri yang dikenal sebagai hari yang suci.
Kampanye sebelum waktunya, menyogok calon pemilih, saling sikut berebut kursi, dan perilaku buruk lain mesti disadari sebagai perilaku yang tentunya tak bisa dibenarkan. Publik harus memilah sebelum memilih. Rakyat adalah hakim akhir yang akan menjatuhkan pilihan kepada siapa aspirasi politiknya dititipkan.
Para elite politik hendaknya kembali pada fitrah manusia yang tak punya kepentingan dalam hidupnya, selain mengabdi kepada-Nya. Penyelenggara pemilu harus lebih jeli dan tegas. Jangan pilih pemimpin yang hanya pandai mengurus kepentingan diri dan kelompoknya, tapi abai pada kepentingan publik. Teliti dengan cermat rekam jejak. Selamat Lebaran, mohon maaf lahir dan batin. (*)
*) USEP SETIAWAN, Ketua Dewan Eksekutif IKA Antropologi Universitas Padjadjaran Bandung