Dolar atau Yuan?

- Advertisement -

BELAKANGAN, spirit dolar semakin menguat. Diawali dengan seruan Vladimir Putin pada pertemuan negara-negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) belum lama ini, seruan untuk lepas dari mata uang dolar terus berembus.

Hal ini diperkuat dengan semakin membesarnya porsi penggunaan mata uang renmimbi dalam perdagangan internasional setelah Rusia menginvasi Ukraina. Data dari SWIFT menunjukkan bahwa penggunaan renmimbi mengalami kenaikan cukup signifikan, sekitar 4,5 persen sejak perang Rusia-Ukraina bermula.

Selain itu, sejak beberapa tahun belakangan, Tiongkok (China) terus berusaha mendorong transaksi bilateral dalam perdagangan internasional. Artinya, setiap negara yang berdagang dengan Tiongkok tidak lagi melakukan pembayaran dengan dolar, tapi dengan mata uang renmimbi atau mata uang lokal.

Namun, kental terasa, mata uang lokal yang dimaksud oleh Tiongkok adalah yuan, bukan mata uang negara mitra dagangnya.

Tapi, nyatanya persoalannya tidak semudah yang dibayangkan. Mengganti alat pembayaran internasional dari dolar ke mata uang lain, sebut saja yuan, hanya akan memindahkan masalah dari dolar kepada yuan. Pun, kalau memang berganti yuan, Tiongkok harus merevisi total aturan moneternya.

Selama ini China cq PBOC hanya memperbolehkan yuan berfluktuasi 2 persen dari median price-nya. Nah, jika yuan menjadi mata uang dominan, otomatis dalam waktu tak lama yuan akan berfluktuasi melebihi ketentuan tersebut.

Selama ini Amerika Serikat (AS) sangat menikmati posisinya sebagai penerbit mata uang dolar karena mereka tak perlu khawatir dengan besarnya utang Negara Paman Sam tersebut. The Fed bisa mencetak dolar kapan pun, saat jatuh tempo membayar utang datang, terutama kepada pembeli surat utang AS dari negara lain.

Namun, risikonya, The Fed tak bisa membatasi pergerakan dolar. Dolar bisa menguat ratusan persen terhadap suatu mata uang tanpa bisa diganggu gugat oleh The Fed. Dan jika itu terjadi, AS harus menerima bahwa komoditas ekspornya kian hari kian mahal.

Baca Juga : Polisi Bantu Evakuasi Korban Tabrak Lari

Nah, sebut saja Tiongkok siap melakukan perubahan. Jika mata uang internasional diganti menjadi yuan, Tiongkok akan menikmati posisi yang sama dengan AS. Tiongkok akan dengan mudah menjual surat utangnya dalam mata uang yuan, lalu menarik yuan dari negara-negara yang mengalami surplus dagang dengan Tiongkok.

Pada saat itulah Tiongkok tak perlu lagi memikirkan berapa banyak utangnya karena surat utangnya dibanderol dengan yuan, yang bisa dicetak kapan pun oleh PBOC (Bank Sentral Tiongkok) di saat butuh, tanpa harus susah-susah melakukan ekspor atau mencari pinjaman ke negara lain yang memegang yuan.

Sementara negara seperti Indonesia, jika menggunakan yuan, mau tak mau harus terus melakukan ekspor ke Tiongkok atau ke negara-negara pemilik devisa yuan untuk mendapatkan yuan. Sebab, Bank Indonesia (BI) tak bisa mencetak yuan, hanya bisa mencetak rupiah. Lalu, saat cadangan yuan menipis, Indonesia harus meminjam ke Tiongkok, baik bilateral maupun ke lembaga keuangan di Tiongkok.

Atau ke lembaga keuangan pemilik yuan, yang rerata ada di Tiongkok. Meminjam ke negara berdevisa yuan berkemungkinan akan sulit karena biasanya mereka juga berdagang dengan Tiongkok dan akan menyimpan yuannya untuk impor di masa depan.

Hal itu hampir pasti akan terjadi karena neraca perdagangan Indonesia dengan Tiongkok minus. Artinya, Indonesia lebih banyak mengimpor dari Tiongkok ketimbang mengekspor. Maka, otomatis yuan yang dikeluarkan akan lebih banyak ketimbang yuan yang didapat. Sehingga, pada satu titik, BI akan kekurangan devisa dalam bentuk yuan, lalu akan meminjam ke Tiongkok untuk tetap bisa membiayai impor dari Tiongkok.

Lantas bagaimana jika Indonesia membayar impor dari Tiongkok memakai rupiah, lalu Tiongkok membayar impornya dari Indonesia memakai yuan? Dengan performa neraca dagang hari ini, Indonesia akan melepaskan rupiah lebih banyak ke Tiongkok dan mendapatkan yuan lebih sedikit. Sebab, impor Indonesia dari Tiongkok lebih banyak ketimbang impor Tiongkok dari Indonesia.

Artinya, yuan akan lebih banyak menumpuk di BI karena Indonesia lebih banyak mengimpor (alias rupiah beredar akan terus berkurang karena dibayarkan ke impor Tiongkok). Rupiah akan keluar lebih banyak, yuan yang masuk lebih sedikit, tapi secara aggregate akan semakin mengimbangi volume rupiah karena rupiah terus terkuras.

Jika itu terjadi dari tahun ke tahun, Indonesia harus menerbitkan surat utang rupiah terus untuk menambalnya alias untuk mengimbangi jumlah devisa yuan. Sebab, kalau tidak, rupiah akan menguat terhadap yuan alias yuan akan terus melemah terhadap rupiah dari waktu ke waktu.

Kalau rupiah terapresiasi terus-menerus, daya saing ekspor Indonesia akan dikikis terus oleh yuan. Biaya impor Tiongkok dari Indonesia akan terus naik, sementara biaya impor dari Tiongkok akan terus turun, karena rupiah akan terus menguat dari waktu ke waktu terhadap yuan. Ujungnya, Indonesia akan terperangkap ke dalam dominasi impor dari Tiongkok karena semakin murah, sementara Tiongkok akan terus mengevaluasi impornya dari Indonesia karena apresiasi rupiah terhadap yuan dari waktu ke waktu.

Artinya, Tiongkok hanya akan mengimpor barang atau jasa yang benar-benar tak bisa mereka hasilkan, terutama barang mentah. Di luar itu, kemungkinan impornya akan dialihkan atau diproduksi sendiri jika biayanya lebih murah ketimbang impor. Jadi akan tetap serbasalah jika pindah ke yuan.

Artinya, yuanisasi pembayaran perdagangan dengan Tiongkok menyimpan jebakan utang ke Tiongkok untuk menambal kekurangan devisa yuan di suatu hari. Sementara yang satu lagi (pembayaran dengan rupiah) mengandung jebakan barang impor Tiongkok karena apresiasi rupiah jika melakukan pembayaran impor dari Tiongkok dengan rupiah. (*)

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments