Konten dari halaman ini Pohon Hayat IKN dan Hayat Pohon Kalimantan

Pohon Hayat IKN dan Hayat Pohon Kalimantan

- Advertisement -

PRESIDEN Ir Joko Widodo telah mengumumkan logo Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dinamai pohon hayat. Presiden menyatakan pohon hayat adalah simbol pohon kehidupan yang diharapkan menginspirasi IKN sebagai sumber kehidupan baru rakyat Indonesia.

Menarik, sebab IKN diletakkan dalam perspektif kebudayaan. Di antara beton, besi, dan baja, pohon hayat niscaya jadi penyeimbang menyejukkan.

Merujuk berbagai sumber, pohon hayat (tree of life) adalah arketipe banyak agama, mitologi, dan cerita rakyat di dunia. Dalam Hindu disebut pohon kalpataru, simbol terkabulnya keinginan bila manusia memuliakan pohon kehidupan. Agama Buddha menyebut pohon bodhi tempat Sidharta mendapat pencerahan. Dalam agama-agama Abrahamik ia dipercaya tumbuh di firdaus.

Jelas, pohon hayat kokoh dalam khazanah budaya Nusantara. Bukankah Nusantara titik pertemuan agama-agama dan mitologi? Di Jawa, misalnya, pohon hayat digambarkan dalam bentuk gunungan sebagai simbol kebijaksanaan. Masyarakat Dayak menyebutnya batang garing yang bernilai spiritual, magis, dan mitologis.

Hayat Pohon Kalimantan

Di sisi lain, Kalimantan dikenal sebagai tempat hayat (kehidupan) pepohonan besar dalam ekologi hutan tropis terbesar di dunia. Profauna mencatat luasnya lebih dari 40,8 juta hektare. Lebih dari hayat pepohonan, di dalamnya hidup aneka fauna, termasuk satwa langka. Juga keberadaan masyarakat adat yang memperlakukan pohon dengan hormat.

Pohon lunuk akau, beringin berbatang kuning kemerahan, tak boleh ditebang karena rumah bagi makhluk halus. Menebang pohon ulin ada ritualnya karena dianggap pohon keramat. Setidaknya itu dipegang teguh oleh orang Dayak Kadori atau Ot Danum (Kartika Rini, Tempun Petak Nana Sare, 2005: 18).

Masyarakat Dayak Meratus menikmati buah pohonan hutan sebagai alternatif pangan. Anna Lowenhaupt Tsing dalam Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan mencatat pohon berbuah musiman itu. Ada hambawang, kulidang, kwini, lahung, luak, nangka, pampakin, tawadak, dan tarap, termasuk pohon-pohon penghasil madu (1998: 514).

Masyarakat peladang tak asal tebang pohon. Istilah peladang berpindah dan tebang-bakar yang telanjur dipublikasikan negatif –dituduh sumber kabut-asap– sebenarnya justru positif karena cara itu menjaga humus tanah.

Pohon-pohon berguna direnggangkan jaraknya, dijaga dari api. Pohon tetap hidup dan api tak menjalar. Biji ditugal di antara pepohonan. Selesai panen, ladang ditinggal, kembali merimba. Ladang lama lanjut diolah. Lewat cara itu orang Meratus memengaruhi komposisi hutan (Tsing, 1998: 240).

Kabut-asap adalah fenomena belakangan, seiring merajalelanya kebun kelapa sawit. Sedang aktivitas berladang ada sejak zaman nenek moyang! Ini analog dengan tengara Presiden Jokowi atas banjir besar di Kalsel awal tahun 2021 yang disebutnya karena curah hujan tinggi. Padahal hujan dan hutan adalah sejoli yang saling membutuhkan.

Tsing menganggap pengetahuan ekologi lokal masyarakat adat jauh lebih terperinci dan kompleks dibandingkan dengan pemerintah. Bayangkan, di tengah keanekaragaman pohon, orang Meratus hanya memanfaatkan 23 jenis pohon untuk berbagai keperluan.

Ironi dan Harapan

Ironisnya, pemerintah memandang pohon Kalimantan sebatas komoditas. Sejak lama hutannya diperawani melalui akad dengan pengusaha HPH. Departemen Kehutanan mencatat, angka deforestasi 2000–2005 mencapai 1,23 juta hektare. Sementara Greenpeace mencatat, hutan Kalimantan kini tinggal 25,5 juta hektare.

Pemegang HPH tak punya rasa hormat pada hayat pepohonan. Jangankan ritual menebang batang ulin, semua jenis pohon dibabat tanpa tebang pilih. Pohon dikerat jadi kayu gelondongan, lalu ditarik di sungai-sungai yang berhulu di kawasan hutan yang ditebangi itu!

Penulis teringat sajak satire penyair Sintang, Aant S. Kawisar: Kutebangi pohon-pohon/untuk kuupacarai. Ia menyasar basa-basi normatif saat pemerintah dan pengusaha melakukan akad perizinan. Regulasi untuk reboisasi hanyalah tetesan madu di atas kertas.

Alih-alih eksploitasi malah berlanjut ke bidang tambang dan perkebunan. Regulasi tentang reklamasi bekas tambang batu bara juga tak berarti. Banyak lubang dibiarkan menganga dan sering menelan korban jiwa.

Begitu pula kasus perkebunan raksasa. Hak atas alam masyarakat adat kerap direnggut paksa demi perluasan lahan sepihak. Tak jarang mereka dikriminalisasi jika menuntut hak. Padahal merekalah pemilik sejati hutan ulayat.

Di tengah situasi itulah IKN dibangun di lahan ribuan hektare. Tentu juga menebangi pepohonannya. Semoga tim proyek bijak memperlakukan lahan dan pepohonan sehingga melahirkan tata ruang hijau.

Lalu, apakah kelak hayat pohonan Kalimantan terjaga karena dekat ibu kota negara?

Ada satu ”teori” sehubungan dengan pembangunan infrastruktur di sekitar kawasan hutan. Konon, bila hutan dibelah jalan raya, para pembalak liar akan mudah mencapai sasaran. Apakah IKN juga akan menjadi pintu masuk bagi para perusak lingkungan?

Untuk diketahui, IKN terletak dekat Tahura Bukit Soeharto dan Pegunungan Meratus. Saat ini saja Meratus jadi bulan-bulanan pengusaha tambang dan kebun. Hulu Sungai Tengah yang relatif belum tersentuh masih dipantau Gerakan Save Meratus sebab terus diincar.

Semoga fungsi IKN tidak tumpang-tindih seperti Jakarta; antara kota bisnis dan pusat pemerintahan sulit dibedakan. Mempermudah ”perselingkuhan” penguasa-pengusaha. Buktikan IKN bukan tempat ”perselingkuhan” baru! Spiritualitas pohon hayat IKN harus bersanding dengan hayat pepohonan Kalimantan yang menanggung hikayat pemusnahan. (*)

 

*) RAUDAL TANJUNG BANUA, Sastrawan dan anggota Grup Kuncen Pantai Barat

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments