DI Indonesia, daging adalah bahan makanan mewah. Merujuk data Organization of Economic Cooperation and Development (2021), konsumsi daging sapi di Indonesia terbilang rendah, yakni hanya 2,2 kilogram/kapita (di bawah rata-rata dunia 6,4 kg/kapita). Wajar jika Idul Adha yang baru dirayakan umat Islam menjadi momen paling dinanti oleh banyak orang. Selama beberapa hari, daging-daging kurban diolah menjadi sate, soto, rendang, dan semur yang aromanya menguar dari banyak rumah.
Kurban dalam Sejarah
Meski rendahnya konsumsi daging di Indonesia adalah permasalahan aktual, dalam konteks historis, hal ini telah mengakar lama. Jauh sebelum masuknya Islam ke Nusantara yang memperkenalkan tradisi kurban, penyembelihan hewan ternak telah hidup dalam tradisi selamatan di Jawa. Ranggawarsita dalam Serat Pustaka Raja Purwa (1862) dan Serat Wita Radya (1863) menerangkan, tradisi selamatan yang disebut mahesa lawung telah ada sejak sekitar tahun 387 Saka (462 Masehi).
Selamatan ini diadakan setahun sekali sebagai wujud dari rojowedo (kebajikan raja) yang ditandai dengan upacara bersih desa setelah terjadinya pagebluk (wabah penyakit)/disebut juga rojomedo (hewan kurban raja yang dikorbankan untuk keselamatan raja dan juga rakyatnya).
Setelah masuknya Islam sebagai agama resmi di Kerajaan Demak pada 1518, tradisi selamatan mulai diterapkan secara Islami yang dirayakan saban tahun pada tiga hari besar Islam, yakni akhir puasa (Grebeg Poso), Idul Adha (Grebeg Ageng), dan Maulid Nabi Muhammad (Grebeg Sekaten).
Dalam riset Martine Barwegen (2005), Gouden Hoorns: De Geschiedenis van de Veehouderij op Java, 1850–2000 (Tanduk Emas: Sejarah Peternakan di Jawa, 1850–2000), terungkap bahwa pengorbanan hewan ternak merupakan alasan penting bagi orang Jawa untuk memelihara ternak.
Hingga awal abad ke-20, di beberapa daerah seperti Tengger di Jawa Timur di mana sapi adalah spesies ternak yang umum dibudidayakan, beberapa kerbau tetap dipelihara untuk dikorbankan dalam ritual keagamaan. Ini mungkin sisa dari kepercayaan Hindu di mana sapi disucikan sehingga tidak boleh disembelih.
Pengorbanan hewan ternak kecil seperti domba dan kambing adalah alasan masyarakat Jawa banyak memeliharanya pada abad ke-19. Karena sebagian besar masyarakat Jawa memeluk Islam, dalam tradisi selamatan serta Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri, penyembelihan hewan ternak dalam jumlah besar berlangsung dalam waktu relatif singkat.
Pada 1858 dokter hewan Van der Weijde menuliskan laporannya kepada gubernur jenderal bahwa dengan membiakkan domba, tekanan untuk mengorbankan sapi yang sangat dibutuhkan dalam pertanian dapat dikurangi secara signifikan.
Konsumsi Daging yang Rendah
C.L. Van der Burg, seorang dokter dan nutrisionis meneliti secara saintifik dan kultural sumber-sumber makanan hewani dalam bukunya De Voeding in Nederlandsch-Indië (Gizi di Hindia Belanda, 1904). Orang Islam dipandangnya sebagai kelompok paling selektif dan bersih dalam mengonsumsi jenis-jenis hewan untuk dikonsumsi mengingat mereka memiliki aturan halal dalam agamanya.
Meski begitu, ia memandang kesadaran mereka terhadap nilai gizi amat rendah. Ia menerangkan persoalan seputar konsumsi daging di Hindia karena banyaknya benturan dengan tradisi, kepercayaan, dan tabu.
Groneman, seorang dokter, dalam bukunya Vegetarisme en Vegetariers (1907) memberi anjuran kepada orang-orang pribumi bahwa hal ideal dari konsumsi makanan sehat adalah mencampur (gemengde) bahan makanan hewani dan nabati. Menurutnya, amat disayangkan jika potensi sumber protein hewani tidak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan gizi rakyat.
Sekalipun anjuran dari para nutrisionis berkembang seiring perkembangan ilmu gizi pada awal abad ke-20, banyak orang pribumi dari kalangan menengah ke bawah menilai daging adalah bahan makanan mewah dan mahal mengingat ini menu konsumsinya orang Eropa dan ningrat. Kesan itu tetap bertahan hingga masa setelah kemerdekaan Indonesia.
Buruknya tata kelola kebijakan pangan pada awal kemerdekaan berdampak pula pada merebaknya angka gizi buruk seperti stunting yang dipicu absennya konsumsi protein hewani dalam menu makan sehari-hari. Dan rakyat kebanyakan baru bisa ”berpesta” daging ketika Hari Raya Idul Adha tiba.
Sebuah Ironi
Ironinya citra Idul Adha sebagai ”pesta daging tahunan” bagi kaum papa terus berlangsung. Sebagai contoh, menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, majalah Panji Masyarakat edisi Maret 1998 menyajikan berita ”Sebuah Pesta Setahun Sekali; Kambing Korban di Pulau Tidung: Bukan Semata Peningkatan Gizi”. Pulau Tidung letaknya di Kecamatan Pulau Seribu Selatan, tak jauh dari Jakarta.
Dan permasalahan gizi yang perlu ditingkatkan dengan mengonsumsi daging kurban di pulau itu menunjukkan krisis pangan dan gizi bukan berarti selalu berjarak jauh dari pusat pemerintahan.
Fakir miskin yang mengantre hingga berebut daging kurban menjadi pemandangan pilu yang kerap terjadi pada perayaan Idul Adha. Beberapa pekan lalu Presiden Joko Widodo dibuat kesal dengan anggaran stunting yang lebih banyak digunakan untuk perjalanan dinas dan rapat ketimbang dipakai membeli daging dan sumber protein hewani lainnya demi memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.
Agaknya dapat dimafhumi, daging yang selama ini dianggap bahan makanan mewah dan mahal bukanlah takdir, melainkan ada masalah dalam kebijakan tata kelola pangan di negara ini. Lantas, apakah akan seterusnya masyarakat dibiarkan menikmati daging setahun sekali? (*)
*) Fadly Rahman, Dosen Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran