Mimpi BUMN Profesional

- Advertisement -

BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut 13 proyek di BUMN yang didanai dengan tambahan PMN sebesar Rp 10,49 triliun pada 2015–2016 hingga semester I 2022 belum juga selesai.

Artinya, ini sudah lebih dari enam tahun alias sudah melampaui target waktu yang ditentukan. Pertanyaan, apakah PMN tersebut kurang berkualitas? Atau ada persoalan yang lebih fundamental dari itu? Namun, pemerintah melalui Kementerian BUMN dan DPR tak pernah melihat persoalan semacam ini dalam kacamata yang komprehensif. Padahal, di sanalah letak persoalan yang sebenarnya.

Perkara efisiensi dan efektivitas alokasi kapital negara di BUMN ini memang acapkali menjadi persoalan karena tak jarang yang tersandera ’’moral hazard’’ di balik logika ’’uang negara’’.

Jika proyek tak selesai, pada ujungnya BUMN-nya dengan santai akan meminta tambahan PMN kepada pemerintah dengan berbagai alasan. Jika proyeknya kemudian terimpit utang, BUMN-nya pun akan mencari berbagai cara agar negara menutup utang tersebut. Alasannya macam-macamlah.

Mengapa? Karena mekanisme pertanggungjawabannya tak jelas. Tak ada pemisahan yang tegas antara politisi serta regulator di satu sisi dan regulator serta eksekutor di sisi lain. Negara mewakilkan kepemilikannya di BUMN melalui Kementerian BUMN. Hanya di Indonesia satu-satunya sepengetahuan penulis yang ada Kementerian BUMN.

Lihat saja, bahkan negara dengan puluhan ribu BUMN sekalipun, seperti Tiongkok, tidak membuatkan pos kementerian BUMN untuk mereformasi perusahaan-perusahaan negaranya. Di bawah semangat reformis Zhu Rongji (perdana menteri Tiongkok 1998–2003) di tahun 2003, perusahaan-perusahaan negara (mulai dari bidang industri, perdagangan, konstruksi, telekomunikasi, sampai transportasi, dll, selain perbankan) tidak diprivatisasi penuh.

Dan yang tidak dilikuidasi disatukan di bawah sebuah otoritas nonpolitis, the State-Owned Assets Supervision and Administration Commission atau SASAC (yang sekarang berbagi peran dengan CIC).

Jadi secara institusional, pemilik saham perusahaan-perusahaan negara di Tiongkok adalah SASAC, yang menjadi perwakilan Kementerian Keuangan Tiongkok (MOF) dan membawahkan BUMN-BUMN Tiongkok yang telah terholdingisasi atau ’’wholly state-owned limited liability company” (WSOLLC).

Dan khusus untuk Tiongkok pula, perusahaan negara berkategori perbankan berada di bawah otoritas lainnya, yakni Central Huijin Investment, yang berada di bawah koordinasi kementerian keuangan dan People Bank of China (PBOC).

Memang, SASAC yang serupa dengan Khazana di Malaysia berkiblat pada strukturisasi BUMN ala Singapura, berkat kesuksesan Temasek selama ini, yang langsung berkoordinasi dan menerima instruksi dari Kementerian Keuangan Singapura. Baik SASAC maupun Huijin memang sangat dipengaruhi oleh partai dan pemerintah mengingat sistem politik Tiongkok yang berbeda dengan Singapura atau Indonesia.

Tapi, upaya Tiongkok dalam mengonsolidasikan kepemilikan saham negara di dalam perusahaan-perusahaan negara adalah upaya yang jauh lebih baik ketimbang Indonesia yang langsung menyajikan BUMN di hadapan kepentingan politik partai-partai dan sukarelawan-sukarelawan penguasa via Kementerian BUMN.

Contoh lainnya Prancis. Negara Napoleon Bonaparte tersebut juga memilih langkah yang mirip dengan Singapura dan Tiongkok. Prancis mendirikan Government Shareholding Agency (Agence de participation de l’´Etat atau APE) untuk mengurus saham negara di dalam perusahaan-perusahaan berkategori BUMN atau perusahaan yang sebagian kecil sahamnya dimiliki oleh pemerintahan Prancis.

Pendirian APE, sebagaimana Temasek, adalah sebagai pembatas yang membedakan antara ’’pemerintah sebagai regulator, pemerintah sebagai pemegang saham, dan BUMN sebagai pelaku usaha,” di mana APE langsung terasosiasi dengan Kementerian Ekonomi (Ministry of Economy) Prancis.

Sementara itu, Jepang, setelah gelombang privatisasi tahun 1980 dan awal tahun 2000-an, memosisikan BUMN-BUMN langsung di bawah Kementerian Keuangan Jepang, yang membentuk satu institusi bernama Fiscal Investment and Loan Program (FILP), institusi yang akan menerima keuntungan usaha BUMN Jepang atau sebaliknya, pun menambahkan modal untuk BUMN.

Pertama dan utama sebelum melakukan reformasi BUMN adalah memisahkan. Yakni, antara pemerintah sebagai regulator, pemerintah sebagai pemegang saham, dan BUMN sebagai pelaku usaha melalui sebuah lembaga perantara yang biasanya berada di bawah Kementerian Keuangan atau Kementerian Ekonomi. Saat ini, pemerintah sebagai pemegang saham dan pemerintah sebagai regulator berada di bawah satu institusi yang langsung menyubordinasi BUMN.

Sementara di dalam pemerintahan sendiri terdapat berjibun kepentingan ekonomi politik yang bisa langsung lompat pagar menuju halaman BUMN via Kementerian BUMN.

Jika Jokowi dan Erick Tohir memang serius ingin mereformasi BUMN agar menjadi BUMN-BUMN yang professional di satu sisi dan efektif serta efisien di sisi lain, keduanya tentu harus berani mengusulkan kepada DPR agar Kementerian BUMN dieliminasi.

Lalu, menyiapkan sebuah otoritas khusus yang akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan yang selama ini terbukti cenderung jauh dari politik untuk mewakili negara dalam kepemilikan saham-saham di BUMN.

Jadi, masalah BUMN di atas bukan sekadar perkara teknis kalkulasi finansial proyek, tapi sebenarnya terletak pada ekosistem BUMN kita yang terlalu dekat dengan politik. Sehingga muncul moral hazard bahwa apa pun hasil proyeknya, toh tidak akan dipertanggungjawabkan secara langsung plus secara profesional. Selama politisinya masih berkuasa, selama itu pula mereka bisa beralibi dan bisa minta PMN lagi. Sesederhana itu saja. (*)

*) RONNY P. SASMITA, Analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HUKUM KRIMINAL

Recent Comments